Sakit hati. Beneran deh.
Hari ini saya mengantar sepupu saya, quwew nama panggilan unyunya, menghadiri parents meeting yang diselenggarakan oleh bimbelnya. Berhubung tanggal 22 April mendatang dia akan mengikuti ujian nasional maka bimbelnya membekali para siswa dan orang tua siswa dengan pengarahan dan informasi penting mengenai kelulusan, SMA pavorit, dan strategi jitu menghadapi UN.
Di situ dijelaskan tentang 'goal' alias tujuan akhir para siswa yaitu menggapai cita-cita mereka. Dan, apa saja yang harus ditempuh untuk mengejar cita-cita tersebut. Misalnya jika ingin jadi dokter, SMA nya jurusan ipa, trus kuliahnya di fakultas kedokteran. Jadi dokter pun ada bnyk pilihan. Dokter gigi, dokter umum, dokter anak, dokter hewan, spesialis, bedah, dll. Semua itu harus sudah terfikirkan sejak sekarang.
Mau jadi apapun kamu nanti, yang jelas kamu harus tahu pintu mana yg harus kamu buka dan jalan mana yg harus kamu tempuh.
Sebagian orang melihat kesuksesan sebagai sebuah hasil. Padahal, itu adalah sebuah pencapaian yg ditempuh melalui serangkaian proses panjang dan kerja keras. Sukses itu bukan instant selayaknya pintar itu bukan belajar dng sistem kebut semalam.
Siswa sering tidak menyadari hal itu. Di benak mereka ujian tidak tergambar sebuah pintu, tapi seperti garis finish lomba lari. Tidak peduli mendapat gelar jupara atau tidak asalkan bisa sampai d garis finish. Yg penting lulus. Ini pandangan yang keliru. Karena jika mereka berfikir begitu, maka kelulusan menjadi akhir tujuan.
Seharusnya, siswa berfikir bahwa ujian adalah pintu yg harus mereka lalui terlebih dahulu untuk menempuh jalan impian yg sebenarnya. Dan, mulus tidaknya jalan tsbt d tentukan pula oleh hasil ujian mereka. jika hasilnya gemilang, maka insya Allah, pintu universitas manapun akan terbuka lebar menyambut mereka.
Inilah, yg tidak pernah saya sadari pada zaman dahulu kala.
Saya pikir, jalan itu hanya akan mudah bagi mereka yg 'jenius' saja. Atau, bagi mereka yg kaya saja. Padahal, sesungguhnya 'banyak jalan menuju Roma'.
Jika saja saya dulu berani nekat menentang arah angin dan 'memaksa' semesta membiarkan saya memilih arah langkah kaki saya sendiri, mungkin....
Ah, kemungkinan semacam itu tidak pernah ada. Karena, saya pun menyadari bahwa semesta tidak pernah memaksa. Ia justru mendukung apapun langkah kita.
Saat kita merasa tidak mampu, sebenarnya ada Allah yg akan memampukan. Dan, hari ini saya menyesal. Mengenang 'keinginan' tempo dulu yg menjadi delta di dalam kalbu. Keinginan yg belum juga jadi nyata padahal usia sudah beranjak senja. Alasannya, hanya karena paradigma yg salah di masa lalu. Hanya karena takut mengayunkan satu langkah dalam hidup.
Hari ini saya dikembalikan ke masa itu. Masa putih abu-abu. Saat nilai ujian akhir yg istimewa itu sama sekali tidak terlihat berharga. Hanya selembar kertas biasa. Yg hanya saya pakai untuk mengetuk pintu pabrik saja. Padahal nilai-nilai itu luar biasa. Entah, berapa pintu universitas yg mungkin terbuka jika saja saya mau melangkah dan tidak terkungkung paradigma yg salah.
Sekarang, setelah 9 tahun keinginan itu mengendap jadi delta, saya seolah menemukan 'jalan lain menuju Roma'.
Di saat kita tidak sempat, tentu Allah dapat 'menyempatkan'. Dia sang pemilik waktu, tidak ada yg tidak mungkin bagi-Nya. Sebelum saya 'terkekang' oleh sebuah ikatan gengabdian pada keluarga, sebelum saya menutup mata untuk selamanya, maka kesempatan itu akan selalu ada. Mungkin, sekaranglah saatnya.
I'll go to the next step.
Pwk, 140413
Komentar
Posting Komentar