Dingin air yang menyiram tubuh Ratna sesaat yang
lalu terasa sedingin hatinya kini. Pikirannya buntu membeku. Ratna terpaku.
Beberapa hari yang lalu Ratna tiba di kampung
halamannya, desa Garokgek, Subang. Sebuah tempat terpencil yang terasing dari
akses jalan raya. Desa ini hening saat Ratna meninggalkannya 6 tahun lalu untuk
menjalani pendidikan di kota Bandung. Tidak banyak anak-anak desa ini yang
seberuntung dia yang memiliki kesempatan bersekolah dan
bisa melihat dunia luar. Kebanyakan dari mereka putus sekolah dan berakhir
menjadi petani seperti orang tua mereka. Harapn mereka terbenam dalam lumpur
hitam tanah sawah. Impian adalah sesuatu yang muluk-muluk bagi warga desa.
Namun, Ratna berhasil mendobrak keadaan. Ia berani
berangkat ke kota meluluskan keinginan orang tuanya untuk merubah nasib mereka.
Mereka berharap Ratna bisa menjadi orang yang berakhlak kelak. Ratna pun masuk
ke sebuah pesantren modern dengan bekal seadanya saja. Namun, di sanalah kedewasaan dan pola pikirnya
terasah.
Ratna berubah. Itu yang dikatakan orang desa saat
syukuran atas kelulusannya dilangsungkan. Sekarang Ratna berjilbab rapi. Wajahnya
tampak berseri-seri memancarkan kekukuhan hati juga keteguhan iman.
Ratna kembali dari kota dengan membawa kabar
gembira. Ia lulus dengan nilai terbaik dan mendapatkan beasiswa. Ia punya
sebuah impian yang akan ia wujudkan jadi nyata dan seabreg rencana yang pasti
akan membuat kaget semua anggota keluarga. Senyum Ratna pun mengembang.
Keluarga besar menyambutnya hangat. Bapak, Ibu,
dan dua saudara perempuannya memang sudah sangat menantikan kedatangan Ratna.
Syukuranpun di gelar sebagai ungkapan kebahagiaan. Senyum mereka mengembang.
“Ratna sudah lulus.” Gadis itu mencium tangan
kedua orangtuanya. Mereka berpelukan dan bertangisan, larut dalam suasana haru
dan bahagia. Bahagia dalam makna yang berbeda.
Belum sempat Ratna bicara banyak hal. Oleh-oleh
kejutan yang belum sempat ia tumpahkan terpental begitu saja. Ternyata orang
tuanya juga punya kejutan untuknya. Sebagaimana Ratna, mereka pun telah
mengatur seabreg rencana untuk masa depan anaknya.
“Pernikahanmu sudah kami atur dengan baik, Nak,”
suara ayahnya mengawali pembicaraan formal tapi ringan di ruang makan. “Beberapa
waktu lalu Bapak menerima lamaran Raden Wira Atmaja. Beliau ingin menikahkan
putranya denganmu..”
Ratna tercenung. Suapan terakhirnya tidak jadi ia
masukan ke mulut.
“Apa maksud Bapak?” tanya gadis itu serius sambil
menatap ayahnya.
“Kami akan menikahkan kamu dengan Hadinata,
putranya Raden Wira Atmaja, orang yang dihormati di kampung kita. Kamu kenal
dengan mereka, kan?” Bapak bicara begitu tenang
dan ringan seolah tidak membaca apa yang sedang berkecamuk di hati Ratna saat
itu juga.
“Nak Hadi teman sepermainan kamu dulu itu loh, Na”
imbuh Ibunya.
Tidak usah dijelaskanpun Ratna tahu siapa mereka. Di
kampungnya ini tidak ada yang tidak kenal keluarga ningrat itu. Tapi bagi Ratna,
sungguh keterlaluan jika Bapak dan Ibunya menjodohkannya begitu saja tanpa
sepengetahuan dirinya. Hal ini benar-benar kejutan. Kejutan yang sangat tidak
menyenangkan untuknya. Ratna pun pergi meninggalkan ruangan setelah perdebatan
yang cukup panjang.
“Ratna tidak mau menikah sekarang. Ratna masih
ingin melanjutkan pendidikan. Ratna dapat beasiswa untuk kuliah di Jakarta.
Ratna ingin belajar jurnalistik. Ratna ingin jadi jurnalis.”
“jurnalis...?!” Bapak setengah terbahak
menyebutkan kata itu,”buat apa kamu jadi begituan, ha? Lebih baik kamu menikah.
Menikah itu ibadah. Sudah kami pilihkan calon yang terbaik. Masa depanmu akan terjamin.
Kamu akan hidup bahagia kalau jadi menantu orang kaya.”
Begitulah pemikiran Bapak. Sebuah pandangan
dangkal orang desa tentang masa depan cerah. Ratna sadar orang-orang
dikampungnya termasuk Bapak perlu dibukakan pikirannya agar dapat menerima
kebaruan zaman. Perempuan tidak mesti selalu berkutat dengan dapur, sumur dan
tempat tidur. Mereka juga berhak memiliki dan mewujudkan impiannya. itulah yang
Ratna pelajari dari pendidikan. Semua manusia berhak memiliki impian.
“Ratna ingin jadi jurnalis karena banyak
manfaatnya bagi kehidupan kita, pak. Ratna bisa menuangkan pikiran melalui
tulisan. Menulis itu sarana ibadah juga. Dengan menulis, Ratna ingin ikut
mencerahkan pikiran masyarakat. Menyampaikan berita, membuka cakrawala ilmu dan
wawasan, supaya mereka tidak terbelakang dalam kebaruan zaman atau terpenjara
dalam pemikiran kolot seperti pemikiran Bapak dan juga warga desa lainnya,”
ungkap Ratna tegas.
“Tidak usah mimpi yang tidak-tidak lah. Sepintar-pintarnya
perempuan, akhirnya bakal masuk dapur juga. Setinggi-tingginya kamu sekolah,
nanti mah jadi ibu rumah tangga
juga.”
“Ratna mengerti, Pak. Hanya saja rumah tangga
bukanlah ujung perjalanan manusia. Setiap orang harus punya cita-cita. Itu yang
ingin Ratna wujudkan. Karena itulah, Ratna menolak menikah sekarang.”
Bapak marah.
”Bapak menyekolahkanmu ke pesantren supaya kamu
tahu aturan. Jadi anak itu harus nurut sama orang tua, bukannya melawan.” Tukas
Bapak.”Nurut saja sama Bapak!”
Ratna tidak berbuat banyak. Melawan orang tua
artinya berdosa. Apalagi Bapak punya karakter yang keras. Percuma saja
membantah, tidak akan ada gunanya. Tetap dia yang salah dan orang tua yang
menang.
***
Prosesi siraman sudah diselenggarakan. Tanggal
pernikahan sudah ditetapkan. Akan nikah dilaksanakan besok yaitu tepat 2 hari
sebelum walimah. Ratna mengurung diri di kamar. Pikirannya masih berkutat
seputar ketidakadilan. Pernikahan bukanlah tujuannya pulang ke rumah. Yang ia
harapkan sebenarnya adalah do’a restu kedua orang tuanya karena ia
akan pamit untuk kuliah di Jakarta. Namun, restu orang tuanya justru diberikan
untuk pernikahan yg sama sekali tidak ia harapkan. Ratna pun
jatuh sakit.
Ini bukan semata tentang cinta atau tidak terhadap
seseorang. Hadi pemuda yang baik. Namun, sama seperti bapak dan orang-orang
desa yang lainnya, pemuda itu juga berpikiran sempit. Awalnya Ratna berharap Hadi
bisa memahami jalan pikirannya dan sedikit membantu agar pernikahan ini bisa
dibatalkan. Atau, jika tetap harus terselenggara, Ratna berharap calonnya itu
bisa mendukung cita-cita mulianya. Sebab, Ratna sangat mencintai impiannya.
Tapi, Ratna salah besar. Hadi yang berkelakuan baik, sopan dan tampil terpelajar
itu telah mengecewakan Ratna melalui perkataannya ketika berkunjung ke rumah.
“Seorang istri itu harus menjadi abdi
suaminya.”
Mendengar itu Ratna jadi malas meneruskan
pembicaraan. Sebelum pamit masuk ke dalam, Ratna sempat berkata,”Maaf, Kang,
seharusnya mengabdi itu hanya kepada Allah. Sedangkan, pada suami namanya berbakti.”
Walau diselimuti perasaan kesal, Ratna sadar tidak
ada orang yang bisa diharapkan mampu merubah keadaan. Termasuk calon suaminya sendiri.
Pada akhirnya Ratna hanya bisa lari pada Allah, mengadukan nasibnya dalam
balutan air mata.
***
Ratna rindu buku-bukunya yang dibuang Bapak ke
tong sampah karena dianggap telah meracuni pikirannya. Namun, meja belajarnya
saja sudah tidak ada. kamar Ratna sudah dihias sedemikian rupa. Ia pun turut
serta. Namun, wajahnya tidak seceria suasana pesta. Ratna berduka di hari
pernikahannya. Gaun pengantin yang teronggok di atas tempat tidurnya Perlahan
ia raih.
’Inikah akhir dari sebuah cita-cita?’ batin Ratna
bergumam. ‘Cita-cita yang tidak direstui orang tua.’ Tapi, Ratna begitu
mencintainya. Itulah alasan mengapa hari ini Ratna mendadak sembuh dari
sakitnya. Ia harus kuat berdiri menghadapi kenyataan demi masa depannya. Jika
pernikahan ini menjadi kematian bagi impiannya, maka Ratna berharap ia dapat
melepasnya dengan ikhlas. Dan, jika ini adalah awal, maka Ratna akan
menyongsongnya dengan keberanian.
Ratna beranjak. Sebelum ia keluar, ia sempat
meletakan sesuatu di atas meja.
“Bismillah...” gumamnya seraya membuka jendela,”Ratna
siap menghadapi semua.”
Bapak
ibu yang Ratna cintai,
Ratna
mohon maaf atas keputusan yang mungkin mengecewakan hati kalian ini. Tolong sampaikan
juga permohonan maaf Ratna pada Kang Hadi dan keluarganya. Jika kami memang
berjodoh kelak pasti Allah akan menyatukan juga. Namun, jika tidak, Ratna
sungguh mengharap keikhlasan dari semuanya.
Dengan
surat ini ratna mohon do’a restu kalian. Ratna pamit untuk meraih cita-cita Ratna
yang ternyata tidak mampu kalian matikan. Harapan Ratna masih menyala terang.
Ratna ingin menyongsong masa depan yang cerah dengan ilmu dan iman.
Izinkanlah
Ratna menentukan sendiri jalan hidup Ratna. Biarkanlah Ratna berlari mengejar
impian. Suatu saat Ratna akan kembali dengan membawa kebanggan bagi Bapak dan Ibu.
Do’akan impian Ratna terwujud, pak, bu...
Salam
takzim ananda,
Ratna.
Orang tuannya pingsan membaca surat perpisahan
putri bungsunya itu.
Komentar
Posting Komentar