Pada suatu hari di masa resesi...
Jalan raya ramai sore itu. kabut asap dan debu
bercampur jadi satu. Bising kendaraan dan suara fals pengamen jalanan beradu
tak menentu. Ratusan kepala bertebaran di seluruh penjuru kota. Kehidupan
seperti tidak akan berakhir walaupun matahari hampir tenggelam di barat langit.
Qodri berjalan lesu. Tiga tikungan dan satu
perempatan sudah ia lalui namun, ia belum berhenti. Ia masih tekun mengikuti
gerakan kakinya yang semakin melambat karena kelelahan. Ia berkonsentrasi penuh
pada ujung sepatunya yang sudah tak berbentuk. Sia-sia saja. Sekalipun bisa
terus berjalan, ia tetap tidak akan sanggup mengejar laju kehidupan. Ia bahkan
merasa tidak sanggup bertahan. Hakikatnya kehidupanlah yang terus berjalan,
tapi ia tidak. Qodri sudah tamat. Kehidupannya seolah terbenam bersama matahari
sore itu.
Setiap matahari terbit di pagi hari, harapan qodri
pun terbit. Berkilo-kilo jarak ia tempuh untuk menggantungkan harapan.
Bermil-mil jalan ia lalui tuk kepastian terwujudnya harapan tersebut. Selama
tujuh purnama ia tak berhenti berharap. Namun, tempat itu tak kunjung ia
temukan. Semua yang ia datangi tertutup rapat. Tidak ada lagi satu celah untuk
menggantungkan harapan di sana. Semua sudah penuh digantungi harapan orang
lain. Maka, setiap matahari tenggelam di sore hari, harapan Qodri pun ikut
tenggelam bersamanya. Dan, harapan itu akan kembali muncul keesokan harinya.
Begitu seterusnya hingga hari ini.
Sayangnya, tepat hari ini Qodri terlampau lelah
menmpuh pengharapannya. Kakinya sudah pegal menapaki pelosok kota. Ia tak
sanggup lagi mengikuti perputaran hari pun tak ingin lagi menemui pagi. Tak
akan ada lagi harapan baru bersama datangnya matahari. Kehidupan sudah berakhir
di mata Qodri.
***
...
‘PD MAKMUR SENTOSA’
‘CV SEJAHTERA BERSAMA’
‘PT MAJU JAYA ABADI RAYA’
‘PT MANDIRI MEKAR’
...
Semua gerbang menutup pintunya. Qodri melangkah
gontai. Entah ke arah mana ia berjalan hingga ia terjebak pada keterasingan.
Sebuah kota tanpa nama.
Ada sebuah pintu sederhana diantara deretan rukan
dan toko. Di sanalah langkah kaki Qodri terhenti. Ia memutuskan untuk tidak
berjalan lagi. Lebih dari itu, ia sudah mantap untuk mati.
Seseorang berpakaian serba hitam membukakan pintu
untuk Qodri.
“Selamat datang di Toko Kematian !” sambutnya.
“di sini kami menyediakan paket kematian terencana
denangan fasilitas terlengkap.” Ia menjabat tangsn Qodri, “Saya Mot, pemilik
bisnis kematian, siap melayani anda.” Mot pun mempersilahkan Qodri masuk.
Hanya ada sebuah lorong gelap yang tak jelas
ujungnya di balik pintu itu. namun, banyak sekali pintu-pintu lain di sisi
kanan dan kiri lorong tersebut. Mot menjelaskan segala sesuatunya kepada Qodri
sambil berjalan menuju sebuah ruangan.
“Ada beberapa paket kematian yang kami tawarkan,
diantaranya kematian terjamin, tercepat, termudah dan termurah. Anda bisa
menentukan pilihan anda sesuai kemampuan anda untuk menjalaninya. Sebab,
pekerjaan kami hanya menyediakan fasilitas dan memanage segala sesuatu yang
berkaitan dengannya. Sedangkan, eksekusinya anda sendirilah yang
menjalankannya. Bisa dipahami ?”
Qodri mengangguk walau tak sepenuhnya yakin telah
memahami. Ia hanya merasa yakin untuk mati.
“Ketahuilah, pintu kami tidak terbuka kepada
sembarang orang. Kami menjual jasa kematian hanya kepada orang-orang yang
sangat membutuhkannya. Atau, kepada mereka yang memiliki alasan kuat untuk
mati.” Mot menjelaskan lagi,”Jadi, perkenankanlah saya untuk mengetahui alasan
anda kemari?”
Qodri tidak menjawab pertanyaan itu secara
langsung. Ia mmandang dirinya sendiri, menunjukkan pada Mot bagaimana
kondisinya.
“Nama saya Qodri, usia 40 tahun, lulusan sekolah
menengah, seorang pengangguran. Tidak punya keahlian, tidak punya pekerjaan,
tidak punya penghasilan, tidak punya sepeserpun untuk membeli hidup yang layak.
Tidak punya orang tua, diterlantarkan sanak sodara, diacuhkan kerabat, dan
dicampakkan keluarga.
Sudah 3 hari saya
puasa tanpa sahur dan buka, 6 bulan menunggak kontrakan, dan 9 kali
dipecat dari pekerjaan. Saya tidak memiliki apa-apa, tidak punya siapa-siapa.
Yang tersisa tinggal nyawa yang sudah tidak memiliki alasan lagi untuk
dipertahannkan.
Tuhan telah mengambil kehidupan saya. Jadi,
sekalian saja akan saya kembalikan nyawa ini ke tangan-Nya.”
Mot tersenyum sinis. Cerita Qodri tadi sebenarnya
sudah basi. Namun, orang-orang seperti Qodri lah yang memang Mot cari. Pada
dasarnya, apapun jawaban Qodri, Mot tidak akan terpengaruhi. Sebab, pertanyaan
tadi hanya sebatas formalitas. Dan, intinya,‘Orang-orang bodoh’ macam Qodri itu
adalah target utama bisnis Mot.
‘Anda ingin mati ? Datanglah kemari !’
Itulah motto toko kematian. Mot memiliki misi di
balik semua ini.
***
Mot dan Qodri tiba di sebuah ruangan.
“Ini
terjamin !” Mot yakin. Ia membuka gorden yang menutupi jendela di belakangnya. Ia mengajak Qodri agar ikut
melongok ke jendela terbuka. Ada sebuah rel kereta api di luar sana. Seorang
peraga berjalan di tengah rel. Kereta datang. Orang yang menjadi peraga itu
terlindas. Organnya tercerai berai. Jemari tangan orang itu melayang di depan
hidung Qodri. darah terciprat dan menempel di jendela.
Qodri tidak kuat menghadapinya. Ia segera menutup
jendela itu. Mot tahu Qodri tidak
menyukai tawaran pertamanya.
“Bagaimana dengan yang ini?” Mot membuka sebuah
pintu yang terletak di sebelah jendela tadi. Pintu terbelalak. “Agak menantang
memang...”sambung Mot santai saja.
Qodri menahan nafas. Ia tidak tahu pintu macam apa
itu. yang jelas, sekarang ia tengah berada di tepian puncak gedung pencakar
langit. Terpeleset sedikit saja ia akan langsung jatuh menyusul manusia peraga
yang sudah lepas landas terlebih dahulu.
“Ini hasilnya !”
Mot menyerahkan sebuah surat kabar yang salah satu kolomnya memuat
gambar korban bunuh diri dari atas gedung tadi. “praktis kan ?”
Qodri merinding mendengarnya.
“Saya takut ketinggian. Apa tidak ada yang tidak
begitu menakutkan?” Tanyanya gemetaran.
“Ada.” Jawab Mot antusias. Ia cepat menutup pintu
dan membawa Qodri ke sebuah meja di pojokan. Ada banyak botol, serbuk putih,
dan pil beraneka warna di atasnya. “Reaksinya berbeda-beda. Ada yang spontan,
ada yang harus menunggu satu atau dua jam, bulanan, bahkan tahunan.” Mot
menjelaskan.
Qodri mengamati benda-benda itu. sebagian berlabel racun. Sebagian lainya,
Qodri tak tahu. Ada yang bertuliskan rasa stroberry, ceamy, soda dan anggur.
Sepertinya manis.
“Ini yang paling menyenangkan,” Mot menyodorkan
serbuk dan butiran pil.”anda bisa terbang dengan ini. Tapi harganya mahal
sekali. sebab, anda mungkin harus mengkonsumsinya dalam jangka waktu tertentu
sebelum obat-obatan ini bekerja menyuguhkan kematian kepada anda.”
“ah, tidak.” Qodri menolak. Bukan karena ia tidak
tergiur, melainkan ia tak punya sekeping pun untuk membeli barang haram itu.
“Saya ingin yang murah saja,” pintanya
Hm...Mot mulai meragukan kesungguhan Qodri
sekarang. Tapi, ini pertanda baik. Mot masih menyimpan sesuatu untuk ditawarkan
pada pria itu.
“baiklah.,” Mot berjingkat mengambil sesuatu yang
tergantung di dinding. “ini mudah sekaligus murah,”ia menyerahkan seutas
tambang dan sebuah pisau tajam , “Pilihlah !”
Qodri menatap kedua benda itu lekat-lekat.
“Lakukan sekarang !” Perintah Mot sambil duduk
santai di sebuah soffa, “disana !” Tunjuknya ke sebuah sudut lain ruangan.
Kali ini tidak ada peraga atau gambaran hasil yang
akan dicapai. Namun, Qodri atau siapapun pasti sudah bisa memahami apa yang
harus dilakukan dengan kedua benda tersebut di saat ingin mati. Cara yang
sangat sederhana. Gantung diri atau mengiris nadi.
Qodri bimbang kembali. Ia sudah mematung di sudut
tergelap ruangan itu. mot menontonnya seolah sedang menyaksikan acara TV yang
begitu menyenangkan.
Qodri menarik nafas. Pilihan tergenggam di
tangannya, tinggal mengumpulkan keberanian saja. Dua benda itu ia tatap
kembali, dalam-dalam dan lekat-lekat. Sesaat kemudian pandangannya beralih pada
Mot. Tatapan Qodri seolah menyiratkan ‘aku menyerah’.
Mot berdiri bertepuk tangan sambil tersenyum
menghampiri Qodri. ia hampir berhasil menjalankan misinya.
“Ada pilihan terakhir.”
Qodri mendongak. “Aku tidak sanggup. Bunuh saja
aku !”
“Kenyataan itu pahit dan kematian itu sakit.
Bahkan, untuk kati sekalipun, kita tetap harus menerima kenyataan itu.”
“Tidak !” Teriak Qodri. “Bukankah ada pilihan
terakhir ?”
Mot terdiam sejenak.
“Ada.”
Wajah Qodri
berbinar. Ia memang sebodoh persangkaan Mot.
“Tapi, ada yang harus anda lakukan.”
“Apa ?”
“Jika anda masih takut mati, anda hanya punya satu
pilihan.”
“Apa ?”
Sekali lagi Qodri mengulangi pertanyaannya.
“Hiduplah !” Tegas Mot, “Hiduplah sampai batas
waktu yang ditentukan tuhan dan jangan pernah memutus asa !”
Qodri terdiam.
“Saya ingin anda melakukan sesuatu yang berarti
dalam hidup anda.”
Qodri menundukkan kepala.
“jangan sia-siakan hidup anda !”
Qodri menatap sosok berjubah hitam itu di balik
embun matanya.
“Silakan keluar !” Ucap Mot ringan,”Selamat
menjemput kematian dengan penuh harapan. !”
***
Qodri membuka matanya di teras sebuah masjid.
Penutup mimpinya menggambarkan ia melangkah perlahan menyusuri jalan panjang
yang diterangi cahaya pengharapan. Qodri pun bersujud mohon ampunan.
***
Nenknonk, 2004.
Komentar
Posting Komentar