Syam berdiri di geladak kapal, menatap bulan di
langit malam. Surat adiknya masih dalam genggaman.
“Pulanglah, bang !”
Kalimat itu, juga malam dan rembulan
selalu mengingatkannya pada luka lama. Pada sebuah nama. Laila wulandari.
...Sebagai
laki-laki normal, wajar jika abang jatuh cinta padanya. Si Laila wulandari
putri pak H. Thohir yang ramah dan santun itu. Bukan Cuma abang, ade dan bunda
pun suka padanya. Dia gadis yang rupawan. Putih, mulus, molek, indah dipandang.
Dia bidadari di kampung kita.
Jadi,
abang sungguh tidak tahu diri menginginkan dia jadi istri. Memang benar abang
dan Laila pernah menjalin cinta monyet d masa SMP.tapi, itu dulu. Tepatnya,
mungkin ketika si Laila masih belum bisa membedakan yang mana pangeran yang
mana kodok. Hehehe...
Maaf,
bang, ade cuma bergurau. Bagaimanapun ade tahu pasti, abang lah orang pertama
di Riau ini yang paling senang mendengar berita kepulangan Laila. Pujaan abang
akan tiba dalam waktu dekat ini. Jadi, demi kebahagiaan abang, kami sekeluarga
telah mengatur perjodohan kalian. Abangku si buruk rupa yang baik hati ini akan
menjadi orang paling beruntung sedunia karena mendapatkan Laila sang pujaan
hatinya.
...Demi
Allah baru kali itu ade melihat abang begitu gembira. Hari itu adalah kali
pertama abang dan Laila bertemu setelah sekian lama. Sebuah pertemuan yang
abang nantikan bertahun-tahun.
...Pesta
telah disiapkan, hidangan siap disajikan, pakaian pengantin pun siap dikenakan.
Namun, abang tiba-tiba bermuram durja.
Semua
orang bertanya-tanya. Pesta pernikahan sunyi senyap. Suara sirene ambulan
terdengar jelas dari rumah Laila. Sebuah kabar menyebutkan ia mengalami
pendarahan.
Orang-orang
pun menuduh abang telah berbuat keji padanya. Tapi, Laila tetap bersikukuh ingin
menikah dengan abang. Sementara abang malah berkeras menolak tegas. Seluruh
keluarga akhirnya membenci abang. Namun. Abang malh diam tanpa perlawanan,
tenggelam dalam kebisuan.
Ade
melihat luka di mata abang.
...lima
tahun telah berlalu,
“Pulanglah,
bang !”
Syam berdiri di haluan kapal menatap bulan yang
mengapung di atas lautan. Lautan yang menenggelamkan harapan dan impiannya
terhadap sang rembulan. Laila Wulandari. Ia kembali teringat pada suatu malam.
Malam sebelum pesta pernikahan.
Seorang pria tak dikenal menemuainya.
“Aku khawatir pada Laila. Karena itulah aku
datang.” Tutur lelaki itu, “aku kekasihnya, maaf...Mantan kekasih Laila.
Syam tak bersuara.
“Aku dan Laila tinggal bersama selama 4 tahun ia
menempuh pendidikan di Jakarta. Tanpa pernikahan. Pacarnya bukan aku saja.
Maka, aku tak merasa perlu bertanggung jawab atas janin yang dikandungnya. Ia melakukan
aborsi yang ke-3 kalinya ini sesaat sebelum kepulangannya ke kampung halaman. Dan, aku datang karena
khawatir pada kondisinya. Bagaimanapun kami pernah bersama “
Kisah itu Syam tenggelamkan dalam lautan. Tak
seorang pun tahu kecuali dirinya, tuhan dan lelaki tak dikenal itu.
Syam masih berdiri di haluan kapal. Surat adiknya
juga masih tergenggam.
“pulanglah, bang !”
Kalimat itu, juga rembulan dan malam masih
mengingatkannya pada luka lama. Pada sebuah nama. Laila Wulandari. Sang pujaan
hati yang telah mati.
Dedicate to:
abang yang ada di tengah lautan
“jangan lupa daratan ya!”
Komentar
Posting Komentar