Belajar tentang ilmu pendidikan dan psikologi telah 'menghajar' bukan saja otak tapi juga hati ini.
Kau tahu, psikologi bilang anak yang dibesarkan dengan lumuran hinaan akan tumbuh tanpa percaya diri. Dan, ilmu pendidikan berkata bahwa rumah adalah sekolah pertama. Lalu, bagaimana jika di rumah pertamanya seorang anak justru merasa kenyang dengan ejekan dan hinaan? Jawabannya dikatakan oleh hatiku. Dia bilang itu aku.
Banyak pertanyaan mengenai prilaku orang tua atau siswa yang 'aneh' diajukan oleh teman-temanku. Mulai mengenai siswa yang pendiam, atau orang tua murid yang 'salah' menerapkan pola pengasuhan. Semuanya seperti panah yang melesat langsung ke hatiku. dia bilang itu aku.
Kadang aku terjebak pada konflik tawa dan air mata. Sulit menentukan harus sedih atau bahagia. Pesis seperti monalisa yang senyumnya dilatari tebing terjal dan kelam. Saat menatap wajah di cermin, kutemukan senyum yang ironi. a monalisa's smaile. Dia bilang itu aku.
Kau pasti pernah berbuat salah. Mengambil piring di dapur tapi tidak membawa sendok. Kembali ke dapur mengambil sendok tapi lupa tidak membawa gelas. Di rumah manapun, itu lumrah. Tapi di rumahku, hal seperti itu adalah lelucon paling lucu. Semua orang akan menertawaimu seolah tidak ada dagelan lain selucu dirimu. Di sini, itu aku.
Setiap orang pasti punya impian atau minimal sekedar keinginan. Seorang anak hanya perlu merengek pada ibunya untuk dibelikan permen. Dalam hitungan detik air matanya efektif. Tapi ada kalanya untuk mewujudkan keinginan seseorang justru dipaksa melakukan hal yang sebaliknya. Diam, selama bertahun-tahun lamanya hanya demi meredam bisingnya pertentangan dalam keluarga. Di sana, itu aku.
Dalam sebuah buku, ada tokoh yang terlambat 100 tahun dilahirkan ke dunia. Tapi, tidak banyak yang perlu ia kejar untuk mencapai segalanya. Ia akhirnya lahir karena keinginan orang tuanya dan ia disambut dengan cinta. sebaliknya, dalam kehidupan nyata, ada seorang manusia yang lahir tepat pada waktunya, tapi terlambat 10 tahun untuk menggenapi kebahagiaannya. Semua itu karena tidak ada orang tua yang menginginkannya. dialah aku.
kebanggan keluarga seringkali diukir oleh banyaknya harta, menantu kaya dan cucu yang lucu. lalu, bagaimana dengan akhlaq dan ilmu? tolong maafkan anak itu yang belum mampu menghadirkan menantu ataupun cucu, yang belum mampu menyuguhkan tenaga maupun harta. Dia masih berjalan sendirian mencari ilmu dan memantaskan prilaku agar kelak dengan bangga ia mampu mempersembahkan selengkung bahagia yang terbaca, "sarjana pertama di keluarga kita". itu aku.
Jadi, tolong jangan salahkan aku! kelak ketika toga itu kukenakan, sedalam apapun kebencian, sepahit apapun perlakuan, aku ingin kalian ada. tepat di sampingku. mengabadikan sebuah peristiwa dalam selembar kenangan indah untuk kujadikan pelajaran, bahwa kalian telah mendidikku dengan sempurna dalam segala keterbatasan yang ada. meski tanpa senyum, pelukan ataupun canda. aku tak mampu berhenti dari terjaga menyadari bahwa aku mencintai kalian lebih dari yang kuketahui.
***
untuk 'Gurita' yang tantakelnya selalu mencengkeramku tanpa jeda
Pwk, 15215.
Kau tahu, psikologi bilang anak yang dibesarkan dengan lumuran hinaan akan tumbuh tanpa percaya diri. Dan, ilmu pendidikan berkata bahwa rumah adalah sekolah pertama. Lalu, bagaimana jika di rumah pertamanya seorang anak justru merasa kenyang dengan ejekan dan hinaan? Jawabannya dikatakan oleh hatiku. Dia bilang itu aku.
Banyak pertanyaan mengenai prilaku orang tua atau siswa yang 'aneh' diajukan oleh teman-temanku. Mulai mengenai siswa yang pendiam, atau orang tua murid yang 'salah' menerapkan pola pengasuhan. Semuanya seperti panah yang melesat langsung ke hatiku. dia bilang itu aku.
Kadang aku terjebak pada konflik tawa dan air mata. Sulit menentukan harus sedih atau bahagia. Pesis seperti monalisa yang senyumnya dilatari tebing terjal dan kelam. Saat menatap wajah di cermin, kutemukan senyum yang ironi. a monalisa's smaile. Dia bilang itu aku.
Kau pasti pernah berbuat salah. Mengambil piring di dapur tapi tidak membawa sendok. Kembali ke dapur mengambil sendok tapi lupa tidak membawa gelas. Di rumah manapun, itu lumrah. Tapi di rumahku, hal seperti itu adalah lelucon paling lucu. Semua orang akan menertawaimu seolah tidak ada dagelan lain selucu dirimu. Di sini, itu aku.
Setiap orang pasti punya impian atau minimal sekedar keinginan. Seorang anak hanya perlu merengek pada ibunya untuk dibelikan permen. Dalam hitungan detik air matanya efektif. Tapi ada kalanya untuk mewujudkan keinginan seseorang justru dipaksa melakukan hal yang sebaliknya. Diam, selama bertahun-tahun lamanya hanya demi meredam bisingnya pertentangan dalam keluarga. Di sana, itu aku.
Dalam sebuah buku, ada tokoh yang terlambat 100 tahun dilahirkan ke dunia. Tapi, tidak banyak yang perlu ia kejar untuk mencapai segalanya. Ia akhirnya lahir karena keinginan orang tuanya dan ia disambut dengan cinta. sebaliknya, dalam kehidupan nyata, ada seorang manusia yang lahir tepat pada waktunya, tapi terlambat 10 tahun untuk menggenapi kebahagiaannya. Semua itu karena tidak ada orang tua yang menginginkannya. dialah aku.
kebanggan keluarga seringkali diukir oleh banyaknya harta, menantu kaya dan cucu yang lucu. lalu, bagaimana dengan akhlaq dan ilmu? tolong maafkan anak itu yang belum mampu menghadirkan menantu ataupun cucu, yang belum mampu menyuguhkan tenaga maupun harta. Dia masih berjalan sendirian mencari ilmu dan memantaskan prilaku agar kelak dengan bangga ia mampu mempersembahkan selengkung bahagia yang terbaca, "sarjana pertama di keluarga kita". itu aku.
Jadi, tolong jangan salahkan aku! kelak ketika toga itu kukenakan, sedalam apapun kebencian, sepahit apapun perlakuan, aku ingin kalian ada. tepat di sampingku. mengabadikan sebuah peristiwa dalam selembar kenangan indah untuk kujadikan pelajaran, bahwa kalian telah mendidikku dengan sempurna dalam segala keterbatasan yang ada. meski tanpa senyum, pelukan ataupun canda. aku tak mampu berhenti dari terjaga menyadari bahwa aku mencintai kalian lebih dari yang kuketahui.
***
untuk 'Gurita' yang tantakelnya selalu mencengkeramku tanpa jeda
Pwk, 15215.
Komentar
Posting Komentar