'sahabat' dulu kata itu tidak pernah ada dalam kamusku. bukan karena aku musuh sosial, melainkan karena aku tidak pernah merasakan kedekatan emosional dengan seseorang. mungkin karena hal itu tidak dipelajari secara formal di bangku sekolah. tapi, nyatanya, di lingkungan terdekatpun, aku tidak dapat memperolehnya.
selama bertahun-tahun, orang-orang yang menemaniku, khususnya di sekolah, hanya menyandang predikat teman saja. aku tidak pernah berani menjatuhkan sepenuh kepercayaanku kepada seseorang hingga ia layak kusebut sahabat. walaupun begitu, aku tetap bersikap baik dan manis kepada siapapun. namun, karena terlalu dingin dan pendiam, hanya sedikit sekali yang mau menjadi teman.
kondisi itu berjalan sejak TK hingga SMP. ketika pendaftaran SMK, aku baru merasakan ada yang 'salah'. di tempat itu, aku kembali bersekolah dengan beberapa teman SMP, tetapi aku merasaterasing sendirian di tengah-tengah orang yang kukenal. aku lelah tidak memiliki siapa-siapa ketika yang lain selalu bergerombol dan tertawa bersama. padahal, aku punya teman-teman akrab, tapi mereka tidak ada. satu-persatu hilang entah kemana setiap pergantian jenjang pendidikan. kami seringkali terpisahkan. mungkin, karena kami hanya teman, bukannya sahabat.
'sahabat' dan 'teman' secara pengertian mungkin sama saja, tapi bagiku maknanya berbeda. sahabat tentu 'lebih' dibandingkan 'teman'. aku tidak tahu bagaimana pemahaman seperti itu mengakar dan berkembang di kepalaku sedemikian rupa dan berbuah sebuah sikap ketidakpekaan. selama perjalanan waktu, aku pernah menjadi anka kecil yang sangat posesif akan sesuatu, termasuk pada orang lain yang kusebut teman tadi. hasilnya, ketika mereka mengabaikan 'pertemananku', sakit dan kecewa lah yang muncul begitu saja di hatiku. maka, sejak itu, aku tidak pernah lagi mengistimewakan siapa pun. bagiku, menyematkan kata 'sahabat' pada seseorang sama dengan memberinya tempat yang istimewa. dan, aku membayangkan bagaimana sakitnya jika tempat itu justru kuberikan pada seseorang yang sama sekali tidak memandangnya istimewa. lalu, aku pada akhirnya beranjak menjadi remaja yang cuek demi menghindari sakit dan kecewa itu.
di SMK aku punya 3 orang 'teman' yang benar-benar baru aku kenal. perasaan terasing yang muncul di awal pendaftaran membuatku bersedia membuang secuil kecuekan yang sudah membudaya di kepala. dengan bersikap manis, baik dan 'welcome', hasilnya 3 orang inilah yang kudapatkan. Tinot, Onday dan Yulai. merekalah mahluk-mahluk ajaib yang disodorkan tuhan ke hadapanku.
berbulan-bulan, aku tidak sedikitpun menganugerahkan mereka hal-hal yang istimewa, kecuali sikap terbuka dan sedikit lelucon dalam obrolan ringan khas anak SMK. yang paling gila diantara mereka adalah Onday. harus aku akui, tadinya aku agak ragu tentang 'ketulusannya', tapi secara ajaib, justru anak inilah yang paling 'nyambung' dengan 'otak tidak warasku'. mereka bertiga ternyata mampu meruntuhkan benteng yang selama bertahun-tahun kokoh menjaga keyakinanku tentang perbedaan arti teman dan sahabat.
suatu hari, di tengah terik siang, di sisi lapangan basket dekat kelas kami, onday berkata padaku dengan ringan. sebelah tangannya menggandeng tanganku, dan sebelah lagi menggenggam plasistik es sirup,"kamu itu sahabat sejatiku.". dia tidak sedang bicara dengan es sirupnya saat itu. dia bicara padaku. benar-benar padaku. ini mungkin perkataan ringan, terdengar biasa saja. sama sekali tidak istimewa. tapi di sebuah sudut hati yang telah lapuk oleh berlapis-lapis debu, kata-kata itu seperti hembusan angin kencang yang seketika menyingkirkan debu-debu tersebut.
seseorang yang bahkan masih 'kubaca' tentang apakah dia teman atau berprospek menjadi sahabat, sesorang yang masih 'kuragukan' itu justru terlebih dahulu menobatkanku menjadi sahabat baginya. dengan tambahan kata 'sejati' pula di belakangnya. ini benra-benar di luar dugaan.
Onday sama sepertiku, tidak pernah mudah memberikan kepercayaan kepada orang lain. tapi hari itu, dia menamparku dengan 'hembusan angin' itu. seolah dia bilang, "berilah! maka kau akan memperoleh." seperti itulah seharusnya. aku selalu berharap bisa menjadi seorang sahabat, tapi selama ini aku tidak pernah punya sahabat, karena aku tidak pernah memberikan kesempatan itu kepada siapapun. dan, detik itu, Onday dengan lugas 'mencerahkanku'. sedangkan, tinot dan yulai melakukan itu tanpa kata-kata seperti Onday. waktu dan peristiwa yang kami lalui bersama lah yang membuatku sadar bahwa kalian lah sahabat.
hal termanis yang kumiliki sepanjang hayat itu adalah sahabat.
sekarang, 11 tahun setelah masa-masa SMK, mungkin tidak banyak komunikasi yang tercipta, tapi apa yang sudah kalian tanamkan sebagai pengganti 'benteng' yang kalian rubuhkan dulu, tidak akan pernah runtuh.
Komentar
Posting Komentar