Langsung ke konten utama

ITTIHAD & HULUL #makalah

PEMBAHASAN

A.    ITTIHAD

1.      Pengertian ittihad
kata Ittihad berasal dari kata ittahad-yattahid-ittahad (dari kata wahid) yang berarti kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Busthami, secara komperhensif maupun etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu". Paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan seorang sufi teah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan ketika yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”.
Dalam paham ini, seseorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad, "diam pada kesadaran ilahi".
Tokoh pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid Al-Busthami. Menurutnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadaranya [sebagai manusia] maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.

2.      Biografi Singkat Abu Yajid Al-Busthami
Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Busthami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal dalam abad ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah seorang penganut Zoroaster yang kemudian menganut Islam di Bustam. Keluarganya cukup berada, namun Abu Yazid memilih hidup secara sederhana. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan. dan minum.
Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya, ia pada masa mudanya mendalami al-Qur'an dan hadits. Ia juga menekuni fiqih Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat begitu juga tentang fana dari Abu Ali Sindi, sehingga tidak diragikan bahwa di masa mudanya ia sudah memiliki pengetahuan agama yang luarbiasa.
Abu Yazid al-Busthami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid itu adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu berdekatan dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat  ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam kondisi mental yang membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah, yang ada hanyalah Allah belaka.
Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa faham yang berbeda dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk penjara.
Dia memiliki banyak pengikut, yang percaya dengan ajaran-ajaran yang diajarkannya. Pengikut-pengikutnya menamakan dirinya thaifur. Sayang sekali bahwa al-Busthami, yang berusia panjang dan kaya dengan pengalaman-pengalaman kesufian, tidak meninggalkan karya tulis. Ajaran pandangannya hanya dapat diketahui melalui catatan-catatan yang dibuat oleh para muridnya, atau oleh tokoh-tokoh sufi lainnya yang pernah berjumpa dengannya. Jika tidak ada pengarang seperti al-Attar, orang tidak akan mengenalnya sama sekali. Beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa anekdot-anekdot sufi belaka.
Ia meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga saat ini. Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasir Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M didirikan di atasnya sebuah kubah yang indah oleh seorang sultan Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustham.

3.      Ajaran Ittihad
Dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad jarang bisa dijumpai. Mungkin karena alasan keselamatan jiwa atau memang karena ajaran ini sulit dipraktekan.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqo’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya.Dengan mengutip A. R. Al-Baidawi, Harun Nasution juga menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Dalam ittihad, ‘identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu.’ Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai.
Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernbah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat.
Ittihād itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam faham ittihād hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihād yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi. Sekarang kalau memang fana yang merupakan prasyarat untuk mencapai ittihād itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas.
Faham ittihād ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrīd fana’ fīal-tauhīd,(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhantanpa diantarai sesuatu apapun. Uangkapan Abu Yazid tentang peristiwami’rajnya berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan :Pada suatu hari aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Iaberkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, AkuMenjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapijika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentangkehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata : ‘Telah kami lihat Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana.’
Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi proses terjadinya ittihād pada bagian awal ungkapan itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihād ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya,
Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau(Harun Nasution, 1973: 85). Selanjutnya Abu Yazid berkata : "Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku"
Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid dalam ittihād berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan : "Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedang aku sendiri dalam keadaan fana ".
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazidsebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihād.
Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad ayau menyatudengan wujud Allah digambarkan sebagai berikut:
Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifatperibadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnyakesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai menyaksikan keindahan wajah Allah; lalu lenyapnyakesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah; lalu lenyapnyakesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telahmulai menyaksikan keindahan wajah Allah; kemudian akhirnya lenyapkesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa leburmenyatu dalam wujud Allah.
Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihadseorang sufi harus melalui tiga tahapan. Pertama, lenyapnya kesadaran akanalam sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih danterpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam penghayatan gaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat al-Haqq (Tuhan). Itulah penghayatan ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’.
Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ al-fana’, yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya. Salam satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai berikut:
"Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka." Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia". (Surat Yusuf/12: 31).
Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini baru ketuhanan seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk lain.sudah fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati terbukanya tabir lalu menyaksikan keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan dirinya dan akan makhlik sejenisnya (Al-Qusyairi, t.th.: 68). Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf yang tampan, mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Untuk memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas patut diperhatikan pernyatakan William James dalam bukunya The Varieties of Religion Experience. Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman mistis; dan dengan cara menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan mampu menghindari dari perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan.
a.  Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengataka  bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan; tidak ada uraian manapun yang memadai untuk bisa mengisahkannya dalam kata-kata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus dialami secara langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang lain.
b.  Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang yang mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dab pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa dirasakan.
c.  Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi; batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah jam, atau paling lama satu atau dua jam.
d.  Kefasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi.
Dengan mengikuti keterangan jaman diatas , maka situasi ittikad Abu Yazid harus dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang sufi. Sebagai pengalaman kejiwaan yang berdeminsi spiritual tentu sangat bersifat personal dan unik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri: Sangat sulit, bahkan mustahil di ungkapkan dengan kata-kata; menimbulkan pencerahan dan kesadaran adanya Yang Mahakuasa yang menguasai ruang dan waktu, hanya terjadi dalam waktu singkat, dan berlakunya kepasifan total yang di awali dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat dan diakhiri dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar biasa.

B.     HULUL

1.      Pengertian Hulul
Kata al-hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal atau berdiam diri. Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-hulul berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (halla bi al-makani). Jadi pengertian hulul secara bahasa adalah menempati suatu tempat.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: “Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan”.
Menurut Al-Hamdany (Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. 1969, Hal : 19) menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya.
Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-gumaman syatahat (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa cinta yang melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah (an-nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.
Hulul atau juga sering disebut "peleburan antara Tuhan dan manusia" adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.

2.      Biografi Singkat Mansur Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir pada tahun 244 H/855 M di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal yaitu Sahl bin Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. 2 tahun kemudian ia pergi ke Basrah dan berguru pada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada Al Junaid.
Melalui pengembaraannyaa ke berbagai wiayah Islam, Al Hallaj mendapatkan banyak pengikut.  Ia kembali lagi ke Baghdad pada tahun 909 M. Pengikutnyapun bertambah banyak.
Al Hallaj bersahabat dengan Nashr Al Khusyairi, seorang kepala rumah tangga istana. Ia selalu mendorong sahabatnya itu untuk melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan menyampaikan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan “penerintahan yang bersih” itupun dirasa berbahaya oleh pemerintah saat itu. Apalagi, di sisi lain ajaran tasawuf dan aliran-aliran keagamaan tumbuh dengan subur. Pemerintah menjadi khawatir akan kecaman-kecaman dan kritik yang ditujukkan padanya serta khawatir pada pengaruh sufi terhadap struktur pilitik. Maka, Al Hallaj pun dipenjarakan. Karena ucapannya, “anna al haqq”, itu dianggap sebagai sebuah kemurtadan dan tidak bisa dimaafkan oleh para ulama fiqh.
Setahun kemudian Al Hallaj berhasil meloloskan diri dari penjara, namun 4 tahun kemudian ia kembali tertangkap. Setelah 8 tahun menjalani masa hukuman, Al Hallaj dihukum gantung. Ia wafat pada tahun 922 M. Namun, ajarannya masih tetap berkembang. Pengikutnya menamakan diri ‘Hallajiyah’. Setelah 1 abad kematiannya pengikutnya di Baghdad mencapai 4000 orang.
                                                                                                                           
3.      Ajaran Hulul
Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhannan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.
Teori lahut dan nasut ini, beangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya – shurah minn nafsih – dengan segenap sifat dan kebesarannya, sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya.
Maha suci dzat yang menampakkan nasut-nya,
Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,                                    
Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,
Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.
Al Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan yang didasrkan pada Q.S.  Al Baqoroh:34.
“Dan Ingatlah ketika Kami berfirman kepada  malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka merekapun sujud, kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.”
Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana meyembah Allah. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, tuhan melihat Dzat-Nya. Ia pun cinta kepada Dzat-Nya dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud. Ia mengeluarkan sesuatu dai tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang memiliki segala sifat dan nama. Adam adalah bentuk copy tersebut. Pada diri Adam lah Allah Swt muncul.
Al hallaj memperlihatkan bahwa tuhan memiliki dua sifat dasar, sifat ketuhanan-Nya (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan manusia, kecuali dengan menempati tubuh setelah kemanusiaannya hilang. Seperti yang terjadi pada diri Isa.
Persatuan tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Agar bersatu, manusia harus meninggalkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah kemanusiaannya hiang dan hanya tinggal sifat ketuhanan,  saat itulah tuhan dapat mengambi tempat dalam dirinya dan ketika itu roh tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.
Menurut Al Hallaj, hulul mengandung kefanaan total. Kehendak manusia dalam kehendak illahi sehingga setiap kehendaknya dalah kehendak tuhan. Demikian juga tindakannya.Bagaimana gambaran hulul itu dapat dipahami dari ungkapan al-Hallaj berikut ini:
Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh, tertusuk pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, danyang kurindu Aku jua,
Kami dua jiwa padu jadi satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam citraNya yang ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan secara riel. Oleh karena itu, ucapan ana al-haqq yang meluncur dari lidah al-Halaj, bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab, yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah al-Hallaj. Al Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya tuhan dan tidak juga sama dengan tuhan. Ia mengatakan:
“Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab Allah Swt. Mandiri dalam Dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali kan menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.
Interpretasi ini sesuai pula dengan pernyataan al-Hallaj dalam syair berikut:
Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
aku bukanlah Yang Maha Benar,
Aku hanyalah yang benar, bedakanlah antara Kami.
Lagi pula, adalah sangat tidak logis apabila seorang sufi yang sepanjang usianya merindukan dan mencari Tuhan, mengaku dirinya sebagai Tuhan.
                                      
C.     PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ITTIHAD DAN HULUL
Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abu Yazid sama-sama mengajarkan tentang persatuan antara Tuhan dan Hamba. Dalam ittihad dan hulul seorang sufi mengeluarkan syatahat
Adapun letak perbedaannya adalah pada ittihad roh manusia naik dan menyatu kedalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulu,l roh ketuhanan telah turun dan masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluk).

D.    KOSEP HULUL DAN ITTIHAD DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Hulul dan ittihad erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang hanya diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati; ucapan orang munafik. Kedua, tauhid yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati; tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang beragam dan banyak berasal dari Yang Esa; tauhid orang yang didekatkan (muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud hanya satu, yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana’ fi al-tauhid), yang rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku.
. Dalam Islam pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui sarana intuisi—yang dipahami tidak terbatas hanya pada pengalaman inderawi. Pada tingkatan nalar dan pengalaman awam, manusia melihat dunia sebagai sesuatu yang banyak, beragam, terpisah, berdiri sendiri dan untuk memahaminya dibutuhkan pembedaan subjek-objek. Kondisi ini disebut keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) yang merujuk pada dunia yang dipahami sebagai sesuatu yang beragam dan terpisah. Penyebutan keterpisahan ini sebagai ’yang pertama’ mengisyaratkan kemungkinan terjadinya keterpisahan kedua (al-farq al-tsani)—yang dialami setelah seseorang mengalami transformasi—dimana seseorang melampaui keragaman dan dia mampu melihat hakikat dunia. Transformasi tersebut bisa dicapai melalui serangkaian disiplin yang memungkinkan seseorang untuk melampaui dunia keragaman dan mencapai keadaan fana’ dan baqa’ dimana dia memeroleh visi tentang ke-satu-an segala sesuatu dalam Asal transendennya. Keterpisahan kedua yang dialami oleh seseorang berarti bahwa dia melihat dunia yang beragam dan terpisah (the world of multiplicity in separateness) dengan cara berbeda dengan yang dialaminya pada keterpisahan pertama yang dimiliki semua orang.
Keterpisahan disini memiliki dua konotasi. Yang pertama merujuk pada keterpisahan antara yang Mutlak dari ciptaan dengan cerapan manusia. Istilah keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) juga menyiratkan bahwa sebelumnya tidak ada keterpisahan, yang merujuk pada ’manusia’ sebelum dia menjadi manusia. Kondisi ini diisyaratkan dalam al-Quran:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
Tentang penjelasan ayat ini, al-Junaid mengatakan ”Dalam ayat ini Allah memberitahumu bahwa Dia berfirman pada mereka pada saat mereka belum ada, kecuali sejauh mereka ada untuk-Nya. Eksistensi ini tidaklah sama dengan yang biasa dilekatkan pada makhluk dan hanya diketahui oleh-Nya.” Dalam ayat ini Allah swt. mempersaksikan (asyhada) terhadap manusia sifat Ketuhanan-Nya (rububiyah) dalam pengertian bahwa mereka tahu, dengan pengalaman langsung dan persaksian, Realitas dan Kebenaran yang disingkapkan pada mereka. Dengan persaksian dan pengakuan manusia, mereka telah mengikat perjanjian dengan Tuhan seraya mengakui-Nya sebagai Tuhan mereka. Pengakuan dan persaksian ini memastikan kesadaran akan pembedaan antara mereka—sebagai hamba—dan Tuhan.
Makna kedua dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan keterpisahan dalam segala hal di dunia. Dalam melihat dunia yang terbentuk dari keragaman, orang awam melihatnya sebagai kenyataan yang saling terpisah, beragam, dan berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu dibalik keragaman itu. Tingkatan yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun pandangannya terhadap realitas tidak dapat menjangkau diluar keragaman, mengakui bahwa apa yang dapat mereka jangkau dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni inderawi-rasional, bukanlah satu-satunya realitas. Mereka mengakui Realitas diluar yang dapat mereka jangkau yang sama sekali berbeda dengan jangkauan nalar dan pengalaman mereka dan secara teologis disebut Tuhan. Pandangan dunia yang bersifat dualistik ini kemudian berkembang—dalam tataran saintifik, filosofis, dan teologis—menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai pembedaan antara esensi dan eksistensi. Menurut pandangan ini, sesuatu memiliki esensi—yakni kuiditas (quiddity), yang secara ontologis merupakan substansinya—dan eksistensi yang dipandang sebagai aksiden dari esensi. Pandangan semacam ini didasarkan pada perkembangan saintifik dan filosofis yang didasarkan hanya pada nalar dan pengalaman awam.
Menurut perspektif metafisika Islam yang didasarkan pada hikmah al-Quran, tidak terdapat pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam realitas eksternal (extra-mental reality), pembedaan itu hanya ada dalam pikiran. Dalam realitas eksternal, apa yang dipandang sebagai penyifatan (qualification) esensi-esensi yang beragam dengan eksistensi adalah pengungkapan-pengungkapan (determinations) dan pembatasan-pembatasan (delimitations) dari Eksistensi yang mencakup semua (all-embracing and pervasive Existence) menjadi bentuk-bentuk partikular. Jadi, hakikat segala sesuatu adalah realitas Eksistensi yang mencakup semua (all-encompassing reality of Existence) yang mewujudkan bentuk-Nya yang beragam dan berbeda (Its multiple and diverse modes) dalam tindakan perluasan (basth) dan penyusutan (qabdl) berkesinambungan dalam gradasi, dari tingkatan kemutlakan pada tingkatan pengungkapan yang beraneka ragam hingga mencapai wilayah inderawi. ’Sesuatu’ dalam dirinya sendiri, yang dipahami dalam keterpisahannya dari Realitas, bukanlah sesuatu dalam yang ber-ada, karena ia adalah sesuatu yang (selalu) musnah. Apa yang sebenarnya ’ada’ adalah aktualisasi dari salah satu mode dari Realitas. Jadi, Eksistensilah yang merupakan ’esensi’ sebenarnya dari sesuatu; dan apa yang selama ini dipersepsi sebagai esensi (mahiyyah) sesuatu tidak lain merupakan aksiden untuk eksistensi.
Konsep Hulul dan Ittihad dalam Islam dapat dilacak dasar-dasarnya dalam Al-Quran yang berpengaruh terhadap terhadap setiap aspek kehidupan Muslim.

Dalam memahami Hulul dan ittihad para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi Sufi.

Komentar

  1. Konsep Tentang Ittihad dan Hulul.

    PENDAHULUAN
    Beberapa Konsep Tasawuf Falsafi Tentang Tuhan
    Pantheisme[1], adalah ide dasar dari tasawuf falsafi. Pantheisme berasal dari kata yunani, yaitu pan yang berarti semua dan theos yang berarti Tuhan. Jadi pantheisme adalah paham yang menganggap Tuhan adalah immanen [ada di dalam] makhluk~makhluk. Dengan kata lain Tuhan dan alam adalah sama. Hal yang sama ditegaskan oleh Hamka, bahwa tasawuf jenis ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya tasawuf dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan filsafat.[2]Ia muncul dalam bentuk masa kini yang diantaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, politeistik dan teistik.[3]
    Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud kecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah. MerekA tidak menganggap bahwasanya Allah itu zat yang Esa, yang bersemayam diatas Arsy. Dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya, setidaknya terdapat beberapa term yang telah masyhur yaitu ; hulul, wadah al~wujud dan ittihad.


    PEMBAHASAN
    1. ITTIHAD
    Ittihad adalah paham yang dipopulerkan Abu Yazid al-Bustami. Ittihad sendiri memiliki arti "bergabung
    menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad, "diam pada kesadara ilahi".
    Tokoh pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid Al-busthami. Menurutnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadaranya [sebagai manusia] maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.
    Menurut aqidah islamiyah yang murni, Tuhan adalah maha Esa, bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna, tidak dapat disekutui oleh sesuatupun. Zat, sifat dan perbuatan Allah adalah maha Esa, tidak menerima persekutuan. Jika Allah dapat bersatu dengan manusia atau alam semesta sebagaimana anggapan dan keyakinan dalam tasawuf falsafi, maka berarti hilanglah ke-maha Esaan-Nya, dan ini adalah mustahil bagi Allah SWT.

    2. HULUL.
    a. Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan
    Hulul merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi yang meyakini terjadinya kesatuan antara kholiq dengan makhluk
    Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: “Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan”.
    b.Tokoh yang Mengembangkan Paham al-Hulul
    Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. la lahir tahun 244 H. (858 M.) di Negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di Negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada. al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga.
    Hulul atau juga sering disebut "peleburan antara Tuhan dan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERADABAN ISLAM PADA MASA KHILAFAH RASHIDAH #makalah

PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Melalui sejarah kita dapat menggali masa lalu untuk dikaji ulang. Melalui sejarah juga kita dapat menemukan nilai-nilai yang pasti akan sangat bermanfaat untuk membangun masa depan. Sebab, sejarah merupakan cermin, yang menampilkan kebaikan maupun keburukan yang pernah terjadi di masa lalu. Sehingga dengan bercermin kepadanya, kita dapat senantiasa memperbaiki diri untuk masa yang akan datang. Peradaban manusia tidak pernah lepas dari sejarah. Sebaliknya, ketika mengkaji sejarah, peradaban pun tidak mungkin luput dari pembahasannya. Peradaban manusia berkembang seiring perkembangan akal pikiran manusia itu sendiri. Peradaban tersebut mengalami kemajuan dan juga kemunduran. Namun, dari sekian banyak peradaban yang tercatat dalam sejarah,  Islam pun turut menorehkan jejaknya dan mengambil peranan penting dalam sejarah perkembangan dunia hingga saat ini. Ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw hadir pada masa Jahiliyyah bagai

RINGKASAN MATERI ULUMMUL HADITS #makalah

A.     Pengertian Hadits Hadist menurut bahasa berarti الجديد yaitu ‘baru’. Pengertian ini terdapat pada beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain Q.S. Ath-Thuur ayat 34, Q.S. Al-Kahfi ayat 6. Q.S. Adh-Dhuha ayat 11. Namun, selain itu, hadist juga dapat berarti الخبر yaitu ‘berita’ serta   القريب yang berarti ‘dekat’. Ada beberapa istilah berkenaan dengan pengertian hadist. Antara lain: 1.      As-Sunnah ( السنة ) Sunnah menurut istilah memiliki pengertian yang sama dengan hadits, tapi di sisi lain pengertian sunnah adalah lebih umum/luas daripada hadist. Sunnah mencangkup segala sesuatu yang berasal dari nabi baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat, sikap, maupun perjalanan hidup, baik setelah diangkat menjadi nabi ataupun sebelumnya. 2.      Al-Khobar ( الخبر ) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, khobar menurut bahasa berarti kabar atau berita. Sedangkan menurut istilah, khobar berarti kabar ataupun berita yang berasal dari nabi (sama denagn hadist),