sabtu, 27 April 2013
akhir pekan adalah waktu yang paling saya tunggu sepanjang minggu.
Bukan cuma saya aja sih, pasti kebanyakan orang juga begitu, apalagi yang
namanya 'kulie'. hehe...akhir pekan itu ibarat hari kebebasan seorang
narapidana :D Tapi buat saya, akhir pekan bukanlah sekedar 'bebas'. Sebab, kata
'bebas' atau 'merdeka' bagi saya berarti sebuah kebebasan untuk menghirup udara
yang berbeda dari biasanya. Jadi, akhir pekan itu adalah sebuah celah atau
kesempatan bagi saya untuk bertransformasi. cieeee....bahasanya ;) menjadi
‘sosok’ lain. xixixi
ya, gitu deh. saya kan kulie, kapan lagi bisa 'bebas' ber-'around
the world' ria kalau bukan pas akhir pekan. Dan. ‘around the world’ yang saya
maksudkan ini bukanlah jalan-jalan
ga jelas ala ABG-ABG zaman
sekarang.
Saya
berkeliling-keliling
kota setiap akhir pekan dalam rangka mencari pengetahuan baru, membuka
cakrawala baru agar wawasan saya lebih luas lagi. Ini semua merupakan langkah
saya menapaki jalan impian.
Agenda
sabtu siang adalah kajian bersama FLP Purwakarta. Usai itu, tahsin time di Pusat Studi Islam SPU
Purwakarta. Maka, akhir pekan saya tidak pernah menjadi sebuah ‘kebebasan’ yang
‘liberal’. Karena, kesibukan dlam hal menuntut ilmu menjadi kebebasan yang
sesungguh-sungguhnya
bagi saya. Maka, akhir pekan kali inipun, saya jalani seperti akhir-akhir pekan
biasanya.
Keluar
dari gedung perpustakaan daerah yang menjadi basecamp sementara kami (FLP Pwk),
saya langsung menyetop angkot menuju Jalan Baru, lokasi PSI. jam menunjukkan
pukul 15.00 WIB. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk menjangkau tempat tujuan.
Namun, saya tertahan di dalam angkot karena ‘sebuah perdebatan’ antar sopir
angkot di sebuah pasar. Pukul 15.30 saya masih mendekam di dalam angkot
tersebut.
Karena
adzan ashar sudah berkumandang, maka saya putuskan untuk singgah dulu ke mushola dekat rumah salah seorang teman kerja
saya. Lokasinya pun tidak jauh dari gedung PSI. saya niatkan usai sholat nanti
untuk berkunjung sebentar ke rumah teman saya itu. Sebab, dia sudah resign dari tempat kerja kami dan
beberapa hari lagi akan kembali ke kampung halamannya di Jogya sana. So, saya
ingin bersilaturahmi selagi masih sempat.
Hanya
beberapa meter sebelum saya memasuki mushola, saya melihat seorang pria
mendahului langkah saya. “Berarti saya tidak akan sendirian di mushola itu,”
Batin saya. Sebenarnya agak ngeri dan tidak nyaman juga jika kata ‘tidak
sendiri’ itu berarti bersama laki-laki. Tapi, ya, mau bagaimana lagi…bukan satu
dua kali saya menumpang sholat di mushola yang juga berfungsi sebagai majlis
ta’lim di kampung itu. Dan, begitulah…seperti masjid-masjid pada umumnya,
mushola itupun hampir selalu sepi pengunjung. Jika ada satu orang saja yang
sholat di sana, sepertinya itu sudah merupakan ‘sesuatu’ sekali ‘ya’. So,
‘kengerian’ di otak saya pun terkikis oleh sebuah kelegaan bahwa masih ada
orang yang mau menghidupkan musholla ini.
Dia
berwudhu dan memulai sholat lebih dulu dari pada saya. Ketika saya akan
berwudhu, seorang anak kecil tiba tiba masuk ke area mushola itu.
“Mang kerang…mang kerang…” Teriak anak itu.
“Mang kerang…mang kerang…” Teriak anak itu.
Saya
pun teingat, sepintas lalu sebelum saya memasuki mushola ini, saya sempat
melihat sebuah gerobak penjual kerang rebus terparkir di samping mushola .
Siapa
laki-itu, ya? (tolong
jangan bilang saya kepo). Yang jelas saya kagum padanya. Saya tegaskan sekali
lagi, saya kagum. BUKAN naksir. Saya rasa saya tidak perlu teriak keras keras
atau menyanyikan lagu Shanty yang judulnya ‘Hanya Memuji’ cuma untuk menegaskan
hal tersebut di atas. Ok.
Dia
berwudhu dan memulai sholat lebih dulu dari pada saya. Ketika saya akan
berwudhu, seorang anak kecil tiba tiba masuk ke area mushola itu.
“Mang kerang…mang kerang…” Teriak anak itu.
“Mang kerang…mang kerang…” Teriak anak itu.
Saya
pun teingat, sepintas lalu sebelum saya memasuki mushola ini, saya sempat
melihat sebuah gerobak penjual kerang rebus terparkir di samping mushola .
Sekarang,
akan saya jelaskan sebab kekaguman saya itu. Siapa laki laki itu? Dia adalah
seorang pedagang keliling. Penjual kerang rebus.
Kenapa
saya kagum? Karena dia ‘orang kecil’. Di hareee
geenee jangankan ‘orang besar’, ‘orang kecil’ saja sudah banyak yang jauh
dari tuhannya.
Lihat
saja kebanyakan pedagang kelililng atau tukang2 apalah yang bekerja dengan
mendorong gerobak, entah itu tukang bakso, tukan gorengan, tukang somay atau
apalah. Kebanyakan dari mereka biasanya adalah orang tua. Tapi pergeseran masa
mengisahkan cerita yang berbeda di jaman sekarang. Banyak pula di antara mereka
yang msih muda bahkan remaja, mungkin anak anak juga, yang sekarang sering kita
lihat di pinggir pinggir jalan, menjajakan dagangannya. Dari segi
‘enterpreneurship’ ini mungkin bersifat baik. Tapi saya ko melihat sesuatu yang
kurang ‘ok’ di sini. Sebagian besar dari pemuda yang jadi pedagang itu putus
sekolah. Berpendidikan rendah dan cenderung tidak punya minat yang tinggi untuk
belajar.
Saya
adalah kulie, maka kehidupan saya pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan mereka. Hanya saja, yang sangat saya
sayangkan, mereka yang hidup di jalanan kurang kenyang akan pendidikan dan
pemahaman yang dalam tentang agamanya. Yang saya saksikan, banyak diantara
penjaja makanan di belakang gerobak2 itu adalah pemuda tanggung, yang notabene
sedang dalam proses pencarian jati diri. Merekapun terjebak oleh sebuah gaya
hidup yang di sebut ‘gaul’. Yaitu sebuah
pemikiran atau cara pandang yang keliru tentang arti sebuah kata ‘keren’ dalam
kaca mata seorang remaja.
Bagi
mereka keren itu berkutat seputar ‘punya pacar’, ‘punya handphone’, punya
‘motor’, ‘fanatik terhadap sebuah band’, dan hal hal nggak penting lainnya.
Memang definisi ‘keren’ semacam ini berlaku bukan hanya bagi para ‘pengusaha
muda’ tersebut saja, melainkan juga bagi para pemuda pada umumnya. Namun, hal
ini tetap tidak bisa dibilang biasa. Akan fatal sekali jadinya jika seseorang
berusaha/bekerja hanya untuk mengejar duniawi saja, apalagi cuma untuk sekedar
mengisi perut dan melampiaskan nafsu (keinginan
keinginan semu yang dikatakan ‘keren’ oleh pemikiran mereka itu).
maka,
saya kagum, ketika ada salah seorang ‘pengusaha muda’ yang masih mengingat
tuhannya di sela aktifitas kerjanya; di waktu waktu orang lain sibuk dengan
gaya hidup, fashion, pacar, gadget atau blablabala yang lainnya; diantara
sempitnya waktu dan sesaknya nafas yang tercekik kebutuhan hidup; di tengah
lelah yang mendera sekujur tubuh; dan tentu saja, di haree geenee…..
saya
rasa orang itu pantas mendapat pujian. Sebagai orang kecil, ia masih mampu
mengingat kebesaran tuhannya, bahkan ketika beraktivitas untuk menutupi
kebutuhan hidupnya.
Sewaktu
anak kecil yang akan membeli kerang rebus itu memanggilnya, saya tahu, laki
laki itu mungkin baru saja mengumandangkan takbir. Ia bias saja membatalkan
sholatnya. Tapi tidak. Dia tetap menyelesaikan sholatnya, bahkan dengan sangat
tenang dan tuma’ninah. Jika saya tidak salah mengira, orang itu pastilah
mengerjakan sholat sunat rowatib juga. Karena sholatnya lumayan lama.
Melihat
pedagang kerang rebus yang dicarinya ternyata sedang sholat, anak itupun
akhirnya menunggu. Lalu, datang dua orang anak lainnya mencari anak tersebut. Sekilas
saya sempat mendengar perbincangan mereka.
Anak
yang baru datang itu berkata pada temannya, “Ari kamu the tidak sholat?”
“Hayu atuh kita sholat!”
“Hayu atuh kita sholat!”
Maka,
merekapun sholat dibelakang tukang kerang tadi. Subhanallah, saya sungguh
terharu melihat kejadian itu.
Semoga
setiap orang yang mencari nafkah, selalu mengingat tuhannya. Karena pasti tuhannya
pun akan ingat padanya. Meskipun sedang sholat, toh, rezeki si tukang kerang
rebus itu tidak melayang begitu saja. Yang menjadi bagian rezekinya tetap akan
jadi miliknya, meskipun ia menunda sejenak kegiatan usaha untuk mendirikan sholat.
Allah tidak akan pernah lupa memberikan jatah rezeki pada setiap hambaNya,
apalagi kepada mereka yang selalu berikhtiar dan tetap melaksanakan perintah
Nya.
Komentar
Posting Komentar