Berikut ini adalah 2 tulisan yang saya buat setelah mengikuti kegiatan upgrading FLP Jabar yang diagendakan setiap 3 bulan sekali. Ketika itu semua peserta yang terdiri atas perwakilan beberapa cabang FLP se Jabar, ditantang untuk membuat essay berdasarkan pengalaman yang telah dilalui selama 3 hari 2 malam bercengkrama di alam Pangandaran.
tulisan kedua, isinya hampir sama.
Eneng
Susanti
Membaca
Pertanda untuk Membangun Peradaban
Eneng Susanti
(FLP Purwakarta)
Ada indah yang terlukis di Pangandaran. ada sejuk
yang ditiupkan angin, semburat keemasan sisa sunrice dan gulungan awan di atas langit sana. Ada debur ombak yang
memecahkan keheningan pagi dan hamparan lautan yang mendamaikan pandangan. Ada
yang terbaca di sini. Sebuah kemahaagungan Allah yang membangunkan syukur dan
ketundukan dalam diri. Betapa ombak kecil saja mampu menggetarkan hati, lalu
bagaimana dengan tsunami? Batapa besar kuasa Allah yang telah menundukan alam
untuk kita, dan betapa tunduknya alam pada perintah Sang Maha Pencipta.
Bagaimana dengan kita? Hanya kata ‘subhanallah’ yang mampu terucapa di bibir
bersama dzikir alam semesta di kala pagi. Namun, rasanya ironi menyaksikan
tumpukan sampah di sepanjang pinggir pantai. Sampai dimana syukur kita pada
Illahi yang menyuguhkan keindahan ini? Selama ini mata kita bisa memandang dan
menikmati keindahan alam, namun nyatanya sikap kita belum cukup mengindahkannya.
***
Ada pelajaran dalam setiap perjalanan. Menapaki
garis waktu kita bisa mundur kebelakang menengok masa lalu. Melihat peradaban
yang terbenam dalam sejarah, namun jelas pernah ada, dari jejak-jejaknya yang
tersisa. Kita bukan mahluk yang pertama di muka bumi ini. Ada perjalanan
panjang yang ditempuh nenek moyang kita hingga dunia tampak seindah sekarang
ini di mata kita. Sejarah itu seperti khayal, tampak tak nyata dan tidak masuk
akal. Bagaimana sebuah pemerintahan berpusat di sebuah goa, bagaimana sebuah kerajaan
jatuh dan berganti penguasa, bagaimana sebuah kepercayaan mempengaruhi
kehidupan manusia dan mitos melegenda di tengah masyarakat kita? Jawabannya
memerlukan alanalisa. sistem kepercayaan dan pola pikir manusia yang membentuk
peradaban kita. Dan, sistem itu mengalami perubahan dari masa ke masa. Kita
perlu kembali membuka buku sejarah dan bercermin di setiap halamannya. Hari ini
akan digantikan esok. Esok akan digantikan lusa. Seperti yang diungkapkan di
atas, kita bukanlah yang pertama namun, bukan berarti kita yang terakhir. Waktu
akan terus mengalir, dan peradaban baru menanti kita di depan sana. Perjalanan
ini masih panjang, bahkan tidak berakhir pada sebuah kematian.
Menapaki garis waktu, kita masih bisa terus
melangkah maju. Menaburkan mimpi dan menyuburkan harapan di sepanjang
perjalanan. Masih ada kesempatan untuk memebangun peradaban. Bukankah setiap
sistem tatakehidupan diciptakan untuk perbaikan? Dan, kehidupan selalu bergerak
ke arah kebaruan? Walaupun masih terasa banyak kekurangan, kita telah mengalami
perkembangan. Dari nol hingga berbelas dan berpuluh tahun usia, kita telah
bertambah. Ilmu, akal, pengalaman, wawasan, dan lain sebagainya. Kita adalah
sebuah potensi yang mampu merubah peradaban ini ke arah yang lebih baik.
Bagaimana?
Ada sejuta kemungkinan dan sejuta pertanda untuk
dipecahkan menjadi jalan. Sang Maha Pencipta telah menaburkannya di dunia. ‘bacalah!’
itu yang diperintahkan-Nya pada kita. Membaca itu berarti sepasang mata bagi
sang buta. Seberkas cahaya ditengah gelapnya goa. Atau, setitik air bagi
kerongkongan yang kehausan. Dengan membaca kita bisa menemukan arah yang
ditunjukan peta. Kita juga mampu
melangkah dengan pijakan yang jelas tanpa keraguan. Dan, dengan membaca pula
kita dapat menemukan mata air ilmu yang mampu melepas dahaga kebodohan.
Ada sebuah catatan sederhana yang saya punya. Ini
tentang membaca.
Reading
is ‘open our eyes’
Reading
is ‘open our heart’
Reading
is ‘open our mind’
there
are many sign in this world that we have to read.
Read
ourselves, find the character!
Read
life, fine the chapter!
Read
nature, find the creator!
***
Mungkin dengan dimulai dari membaca, kita mampu
belajar dari masa lalu dan sejarah. Berusaha untuk tidak mengulang kesalahan.
Menghindari jebakan zaman yang mungkin mengaburkan visi dan pandangan. Terus
melangkah melanjutkan perjalanan yang panjang. Menuliskan setiap harapan
melalui tinta, mengisi lembaran-lembaran yang nantinya akan menjadi sejarah
juga di masa depan. Insya Allah kita mampu menciptakan peradaban. Bukan hanya sekedar
menikmati keindahan.
31122011
-catatan diatas mesin waktu, disamping pintu terbuka pada malam pergantian
tahun-
</tulisan kedua, isinya hampir sama.
Membaca Keindahan Pangandaran
Yang terbersit dari perjalan silaturahim bersama
FLP Jawa Barat pada 16-18 Desember 2011 lalu adalah ‘keindahan’. Keindahan yang
menyeret kerinduan untuk kembali ke sana, ke pantai pangandaran, meski sekedar
melaui perantara kenangan.
Menyusuri tepian pantai, kita disapa angin yang
menyejukkan, disuguhi hamparan langit yang luas terbentang. Biru berawan
menakjubkan pandangan. Apalagi ketika dikagetkan debur ombak yang kecil tetapi
menghentak. Kita menemukan keagungan Allah di sana. Pada keindahan panorama
pantai, terpaan angin, dan deburan ombak, juga sinar matahari pagi. Semburatnya
mewarnai langit, menyempurnakan landscape yang memuaskan setiap pandangan.
Crayon mana yang bisa melukiskan keindahan serupa? Hanya Allah yang bisa. Dari
sanalah hati kita merasakan kesyukuran dan ketundukan.
Kehidupan ini menyimpan misteri. Langit yang luas
itu telah ada sejak waktu yang lama. Memayungi kita, menyaksikan semua
peristiwa. Bahkan jauh sebelum kita dilahirkan ke dunia. Ada zaman yang
berganti seiring hari. Ada peradaban baru dan ada juga yang terkubur waktu.
Semuanya tersimpan rapi pada lembaran-lembaran sejarah kehidupan ini.
Sering kali kita mendengar berita penemuan
arkeologi yang mengguncang dunia. Contoh yang terbaru misalnya, penemuan 3 buah
gunung Piramida di Garut, jawa Barat. Ini sebuah misteri yang mengherankan.
Bagaimana piramida yang identik dengan Mesir dan pemujaan pada dewa bisa
ditemukan di Indonesia. Namun, ini bukti nyata, bahwa ada peradaban lain
sebelum kita. Sebuah kehidupan yang mungkin tidak terjangkau oleh akal pikiran
kita. Dalam perjalanan menyusuri cagar alam Pananjung di kawasan Pangandaran
pun, terekam jejak peradaban masa silam dan perubahan dari zaman ke zaman.
Tercatat sebuah kerajaan hindu telah berdiri di
sana. Kerajaan Pananjung. Rajanya bernama Raja Anggalarang. Kita bisa
mengetahui keberadaan kerajaan tersebut dari bukti historis yang ada. Seperti
situs batu kalde, tempat bersembahyang umat hindu pada masa itu. juga gua
lanang yang menjadi keraton kerajaan Pananjung.
Ada juga gua parat atau gua keramat. Di gua ini
terdapat simbolisasi dari makam syeikh Ahmad dan Muhammad yang dahulu
menyebarkan agama Islam di dareah itu. dari gua yang satu ini. kita dapat
mengetahui adanya perubahan zaman yag ditandai dengan perubahan sistem
kepercayaan dari hindu ke agama islam seperti yang dianut mayoritas penduduk
Pangandaran saat ini.
Satu tempat lagi yang terkait dengan sejarah
Pangandaran adalah lapangan banteng. Cukup melelahkan juga untuk mencapat
tempat ini. tapi semua lelah itu terbayar ketika kita menemukan hamparan tanah
lapang berbukit hijau dengan semilir angin yang menyegarkan. Rasanya seperti
bisa bernafas lega. Merdeka dan bebas.
Konon kabarnya di lapangan luas ini kita dapat
menemukan banteng. Hal ini kembali terkait dengan sejarah. Ketika masa kerajaan
bergulir menjadi keresidenan Priangan atau ditandai sebagai zaman penjajahan
Belanda di tanah Priangan, Pananjung pun dijadikan sebagai taman untuk berburu.
Maka, ditanamlah berbagai jenis pohon, dan dilepaskanlah berbagai macam satwa
termasuk banteng, rusa dan monyet.
Sepanjang perjalanan menelusuri taman wisata ini,
kita akan mudah bertemu dengan monyet-monyet lucu, menggemaskan, namun kadang
menjengkelkan. Tidak jarang mereka merebut bekal makanan kita atau bahkan bisa
saja menyerang kita jika mereka merasa terganggu atau terancam. Oleh karena
itu, kita perlu waspada.
Sepanjang sejarah, status kawasan Pananjung pun
telah berganti-ganti. Mulai dari taman
berburu pada masa keresidenan Priangan, kemudian diganti menjadi suaka alam dan
suaka marga satwa. Ketika bunga Raflesia Padma ditemukan di daerah ini,
pemerintah mengganti ststusnya menjadi cagar alam. Dan, seiring bertambahnya
kunjungan wisata, tempat ini berganti menjadi taman wisata hingga saat ini.
Yang juga unik dari perjalan sejarah tempat ini,
salah satunya adalah mitos dan legenda
yang beredar di masyarakat sekitar. Seperti mitos dan legenda yang terekam di
gua panggung. Gua yang menampilkan panorama indah laut Pangandaran ini
dipercaya sepagai tempat pertapaan juru kunci sang penghubung Nyi Roro Kidul.
Serem juga jika mengingat hal tersebut. Namun, semua tetap dapat menjadi
pelajaran bagi kita.
Alam semesta merupakan ayat-ayat Allah yang harus
kita baca. Di situ terdapat macam-macam pertanda. Langit pengetahuan, lautan
ilmu, telaga hikmah, padang hakikat, bukit pemikiran, gunung gagasan, sungai
ide, dan lain sebagainya. Dari sana lah kita dapat memetik pelajaran berharga.
Setiap pertanda adalah petunjuk. Tugas kitalah untuk membaca petunjuk-petunjuk
tersebut.
Memecahkan teka-teki misteri di seantero alam ini bukan
suatu hal yang mudah. Diperlukan kepedulian dan perhatian yang besar. Semuanya
bergantung pada kepekaan kita ‘membaca’ setiap baris ayat yang tersaji pada
lembar catatan kehidupan. Termasuk yang tersaji di alam dan terpampang pada
ekspresi wajah orang.
Melihat Pangandaran, menegok Pananjung, yang
terbaca adalah kemahakuasaan Allah atas manusia dan semesta. Ia yang
memperjalankan kita dari masa ke masa, dari zaman ke zaman, dari peradaban yang
satu ke peradaban yang lainnya. Yang bisa kita catat mungkin hanya sejarah.
Masa lalu yang menjadi cermin untuk masa depan. Sedangkan, yang bisa kita
lakukan bukan hanya sekedar berkaca, tapi bertindak untuk memperindah masa depan
kita. Dan, semua itu dimulai dari ‘membaca’.
Segala yang telah terbaca selama 3 hari di
Pangandaran menyiratkan keindahan. Ada yang berkesan pada setiap jejak yang
ditinggalkan. Terlukis dalam gambar yang menampilkan senyuman. Terekam dalam riang canda tawa yang mengundang kerinduan. Terangkum
dalam lembaran tulisan. Semuanya terisi oleh hangat dan ramahnya kebersamaan
antara sesama manusia juga alam. Tersampaikanlah sebuah pembelajaran melaui
perjalanan yang menyenangkan.
***
Purwakarta, 12 Januari 2012
sudah lebih dari setahun berlalu, tapi rasanya baru kemarin. kerinduan untuk kembali dan berkumpul bersama kawan-kawan FLP se-Jabar masih terasa hingga kini. hm...kapan lagi ya, bisa ke sana...hikz. Kangen >.< apalagi sampai sekarang saya masih belum tahu apakah dua tulisan saya yang ada di atas itu bisa dikategorikan essay atau tidak. hikz...tambah sedih aja nih saya T.T
Komentar
Posting Komentar