Cinta terlihat bersemangat menghadapi tanggal 14
Februari ini. Selalu ada banyak surat cinta dan cokelat untuknya. Dia memiliki
banyak penggemar di sekolah. Setiap tanggal 14 Ferbruari, dia selalu jadi
penerima hadiah valentine terbanyak. Wajar saja, sebab Cinta adalah gadis yang cantik,
manis, imut, selalu ramah, ceria dan baik kepada siapa saja. Semua orang
menyukai dia. Termasuk aku, sahabatnya.
Berebeda dengan dirinya. Aku sangat biasa. Tidak
banyak orang yang mengenalku jika tidak ada Cinta. Namun, aku dan dia adalah
sepasang sahabat yang sempurna. Kami sudah dekat sejak TK. Kini, kami sudah
SMA. Tapi, hubungan kami masih sebaik dahulu kala. Lebih-lebih setelah 2 tahun
terakhir ini kami mengaji di tempat yang sama. Aku dan Cinta sudah layaknya
saudara.
Belakangan ini aku khawatir padanya. Sebentar lagi
14 Februari tiba. Untuk kesekian kalinya, Cinta belum juga berubah. Dia masih
dan selalu saja antusias menyambut hari merah jambu tersebut. Padahal
peringatan dari Bu ustadzah, guru ngaji kami sudah sangat jelas.
”Ingatlah hadist Rasulullah,“Barang siapa yg meniru tradisi sesuatu kaum maka dia dia adalah bagian dari kaum tersebut.”
”Ingatlah hadist Rasulullah,“Barang siapa yg meniru tradisi sesuatu kaum maka dia dia adalah bagian dari kaum tersebut.”
Aku ingat
Bu ustadzah berbicara seperti itu setelah mendengar kabar tentang kelakuan Cinta.
Namun, guru ngaji kami yang bijaksana itu tidak pernah satu kalipun menyebut
nama. Aku hanya mampu berharap Cinta sadar saat beliau menyinggungnya.
Aku yakin
Cinta pernah mendengar tentang perayaan lupercalia yang dilakukan bangsa Romawi
kuno. Kemudian perayaan itu diadaptasi oleh kaum nasrani. Aku juga yakin dia
sudah tahu tentang kisah pendeta valentine yang kematiannya dirayakan oleh
orang-orang di seluruh dunia sebagai hari kasih sayang. Keduanya adalah kisah
yang sangat tidak teladan, tetapi justru diteladani oleh banyak orang. Sungguh
memprihatinkan.
Banyak
remaja yang terjerat dalam lingkaran hari ‘kasih sayang’ itu. Banyak juga
pemuda yang terjerumus tanpa menyadari bahaya dan dosa dari ‘kasih-sayang’
tersebut. Aku khawatir pada Cinta. Sudah berulang kali kuberitahu, tapi dia
tetap cuek menanggapi kekhawatiranku.
“Aku
baik-baik aja, ko.” Santai saja dia bilang begitu sambil merapikan buku-buku,
“Kamu lihat sendiri kan,
aku nggak jadian sama siapa-siapa sampai sekarang. Tetap say no to pacaran. I promise
deh pokoknya.”
“Say no
juga to valentine, because we are muslim. All right?“ Aku coba melihat
reaksinya. Hanya sebuah helaan nafas yang keluar dari mulutnya.
“Ingat
kata Bu ustadzah!”
“Iya…iya…Bu
ustadzah. Hehehe…” Cinta malah menggodaku. Kami pun cepat-cepat meninggalkan
perpustakaan karena waktu istirahat sudah selesai.
Pada malam
hari aku terus berdo’a semoga Allah menjaga Cinta. Diam-diam aku berharap dapat
melihat keajaiban. Semoga besok bintang pujaan satu sekolah itu mampu bersikap
tegas terhadap semua penggemarnya. Sungguh, aku tidak bermaksud merusak
kebahagiaan sahabatku. Melalui do’a aku hanya ingin menyampaikan cintaku untuk
Cinta.
***
14
Februari,
Aku tidak
meninggalkan Cinta walau sejengkal pun. Tekadku sudah bulat untuk mencegah dia
berbuat ‘yang tidak-tidak’. Kemanapun Cinta melangkah aku selalu menyertai.
Sampai di
koridor kelas, pagi itu suasana masih lengang. Anehnya, kakak kelas kami ada di sana. Namanya Rio. Dia
salah satu bintang sekolah juga, sama seperti Cinta. Aku pun sudah dapat
menebak maksud kehadiranya. Tidak lama kemudian dia meminta ijin untuk bicara
berdua saja dengan Cinta. Katanya ada hal penting yang ingin dia sampaikan.
alhamdulillah,
Cinta menolak bicara secara empat mata. Aku sudah optimis do’a ku diijabah Yang
Maha Kuasa. Apalagi saat dengan jelas Cinta menolak ajakan Kak Rio untuk
jadian. Wah, aku benar-benar kegirangan.
Namun,
itu hanya sekejap saja. Tidak lama kemudian satu per satu penggemar Cinta
bermunculan membawakan hadiah. Dan suara puji serta rayuan gombal mulai
membahana di telinga. Puisi-puisi picisan mereka membuatku mulas dan ingin
muntah secara spontan. Namun, Cinta justru santai saja.
“Hallo,
Cinta!”
Euh…aku
langsung menatap sadis kearah datangnya suara, padahal jelas-jelas bukan aku
yang dipanggil oleh suara itu. Aku hanya merasa ‘terpanggil’, terganggu dan
jengah mendengarnya. Itu suara mendayu-dayu kesekian yang aku dengar hari ini
selama aku mendampingi Cinta di sekolah.
“Aku
punya hadiah buat kamu, Cinta.”
Aku
tengok muka Cinta. Dia seramah biasanya.
“Makasih
ya.” Entah kenapa aku ingin sekali menonjok wajah manis itu setiap kali
menyambut baik hadiah-hadiah dari para penggemarnya. namun, aku segera
beristighfar. Bagaimanapun Cinta adalah sahabatku. Aku tidak mungkin bersikap
kasar padanya walaupun sebenarnya aku kecewa terhadap sikapnya.
“Ta, aku bisa
beliin kamu cokelat yang banyak kalau kamu mau. Tapi please deh, jangan lagi
kamu terima pemberian mereka!” Akhirnya aku tidak tinggal diam. “Kalau kamu
terus bersikap semanis itu, mereka bisa salah faham mengartikannya. Gimana
tanggung jawab kita nanti sebagai muslimah?”
Cinta
menatap wajahku. Matanya terlihat bening. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia
utarakan, namun mulutnya tetap rapat.
“Ta…”
Belum selesai aku bicara, seorang fans datang lagi menghampirinya. Dan, Cinta
malah meladeni dia tanpa mempedulikan kata-kataku. Huh, segera saja
kulangkahkan kaki meninggalkan mereka. Dari kejauhan aku melihat cinta menerima
lagi sebatang cokelat.
***
“Alhamdulillah. Hari ini dapat banyak.” Gumam
Cinta sambil tersenyum puas. Ia masukkan semua hadiahnya ke dalam kantong
kresek besar yang sengaja dibawa dari
rumah. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Sahabatku,
Cinta, seorang aktivis rohis, turut serta dalam kemeriahan valentine day?
Entah harus berbuat apalagi untuk menolongnya. Dia
sudah tersesat.
“Tia, kamu mau?” tanpa dosa dia malah menawariku
sebatang cokelat.
“Nggak.” Jawabku tegas.”Aku nggak sudi tahu!”
Tidak kusangka kata-kata kerasku membuat Cinta
tertegun. Aku melihat dia kaget dan sempat shock. Mungkin dia merasa tertampar.
Tapi, kemudian dia tersenyum dan bersikap tenang seperti biasanya. Gadis yang
satu ini memang paling jago menata emosi.
“Biar aku jelaskan, Tia...”
“Nggak perlu.”
“Tolong jangan marah dulu!” Cinta memohon padaku,
“Apa kamu tidak ingin tahu alasanku?”
“Apapun itu, terserah kamu!”
***
Cinta menjinjing kresek penuh cokelat itu
menyusuri trotoar, melintasi jalan raya hingga sampai di kolong jembatan.
Diantara tumpukan sampah dan bau busuk yang mnyengat, Cinta menghentikan
langkahnya. Sebuah bangunan teramat sederhana berdiri tepat di depannya.
Anak-anak berpakaina compang camping, lusuh serta kumal keluar dari bangunan
itu. Mereka semua menyambut Cinta dengan suka cita.
“Horeee....!” Seru mereka.
“Kak Cinta bawa cokelat yang banyak.”
“Asik, kita bisa makan cokelat!”
Sorak mereka menyentakku. Karena jengkel oleh
sikap cuek Cinta, sebuah keputusan yang ajaib kuambil secara tiba-tiba. Aku
membuntuti Cinta sejak dia meninggalkan sekolah siang tadi. Menurutku, harus
ada kejelasan atas sikap anehnya selama ini.
Dan, pemandangan di depan bangunan butut berpapan
nama rumah singgah itu cukup menghujam kejantungku. Semuanya sudah jelas
sekarang. Prasangka burukku terhadap Cinta benar-benar salah. Aku sungguh menyesal
akan hal itu.
“Kasihan anak-anak itu ya...” itu suara Cinta yang
sering aku dengar setiap kali melewati lampu merah. Banyak anak jalanan yang
mengais rezeki di sana. kaliamat itupun seakan terngiang kembali di telinga,
membangunkan kesadaranku akan sebuah kekhilafan besar.
“...Buat makan aja susah apalagi buat jajan.”
Itulah kenyataan yang sangat disadari Cinta. Namun, tidak semua orang peka
terhadapnya. Kini kenyataan itu tengah
menampar mukaku.
“Cinta...” Dadaku terasa sesak menahan butiran air
mata.
Gadis itu menoleh. Sedikit terkejut melihat
kehadiranku di sana. segurat senyuman kemudian tersuguh di wajahnya.
Dari bola matanya yang bening itu ada telaga yang
jernih. Ada mata air kasih sayang tulus yang terpancar di sana. Bukan dari
sebaris kata cinta dan rayuan gombal belaka, melainkan dari hati yang manisnya
melebihi rasa cokelat manapun di dunia ini.
Hanya rasa manis semacam itulah yang mampu
menghapus kepahitan anak-anak malang itu. mereka adalah anak-anak jalanan yang
sangat membutuhkan uluran tangan dan kepedulian yang tulus. Bukan karena V-day
kasih itu bisa tumbuh di hati Cinta untuk mereka. Melainkan, karena hanya pada
hari inilah ia punya kesempatan memiliki banyak sekali cokelat untuk dibagikan
pada mereka. Anak-anak yang jarang sekali bisa merasakan manisnya cokelat
seperti halnya merasakan manisnya kehidupan.
“Maafkan aku, sahabat...” Tangisku pun pecah dalam
dekapan Cinta.
***
Komentar
Posting Komentar