Langsung ke konten utama

sebuah hadiah



Wajah polos Eishya menatap Ibunya. Gadis kecil itu tidak pernah tahu apa yang dikerjakan Ibunya di luar rumah setiap malam. Ia hanya tahu Ibunya bekerja. Ia mencari nafkah di luar sana. Kata pak ustad, menafkahi keluarga itu adalah ibadah.
Eishya tidak punya ayah. Kata Mbok Yem, tetanggannya, Ayah Eish meninggal di proyek saat bekerja sebagai kuli bangunan. Sejak itu, Ibunya yang mengambil alih tanggung jawab menafkahi keluarga. Eishya sangat sayang pada Ibunya. Namun. Entah kenapa, orang-orang di sekitar sering kali mencemooh mereka.
Mereka bilang Ibunya nakal. Padahal di mata Eish, ibunya tidak pernah membentak, teriak-teriak atau mengejek orang lain seperti yang biasa di lakukan anak-anak nakal pada umumnya. Eishya sepertinya masih terlalu kecil untuk memahami betapa rumitnya kehidupan ini. Ia masih terlalu kecil untuk menyelami dunia yang luas ini. Ia hanya seorang gadis kecil lugu dan sederhana yang hanya mengenal jalanan dan stasiun kereta. Ia belum tahu siapa sebenarnya Ibunya. Hingga suatu pagi ia tersentak kaget sekali. Ibunya pulang bersama seorang lelaki.
Eishya mulai bisa mencerna satu-persatu perkataan tetangga. Tapi ia tetap menyayangi Ibunya. Pak Ustad bilang, setiap anak harus berbakti pada orang tuanya, terutama Ibu, karena surga itu ada di telapak kaki Ibu. Sesederhana itulah pikiran Eishya.
Malam itu Eishya menatap Ibunya yang sedang berhias di depan cermin. Ia teringat sesuatu yang di katakan Pak Ustad, guru mengajinya, sore tadi di surau. Ia menyebutkan sebuah hadist,
“sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholihah.”
Eish pun memberanikan diri bertanya pada ibunya, “Bu, apa Ibu adalah wanita sholihah?”
Sontak Ibunya menghentikan aktivitas berias.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Tanya wanita muda yang pernah jadi kembang desa itu heran.
“Kata pak ustad ‘sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholihah’. Perhiasan dunia itu kan pasti cantik, seperti Ibu. Berarti, Ibu juga wanita sholihah ya?
Ibunya terdiam. Kata-kata Eishya  bagaikan sebuah tamparan lembut ke pipinya, namun jauh menghujam ke jantungnya.
“Eish tanyakan sama pak ustad saja ya,” Ia menghindar. “sekarang kita ke tempat Mbok Yem !”
Eishya menggangguk saja. Setiap malam selama ibunya pergi bekerja, Eish dititipkan ke rumah Mbok Yem yang sudah seperti keluarga mereka sendiri. bagaimanapun sederhannya perkampungan kumuh di tepi rel kereta itu, tempat itu tetap menyimpan bayangan kelam. Sisi kriminalitas yang sangat berbahaya bagi siapapun, tidak terkecuali Eishya.
Ibunya sangat menyadari hal itu. ia memang rusak tetapi ia tidak mau anaknya pun rusak dan kehilangan masa depannya. Sedapat mungkin ia berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan gadis kecil itu beserta harapan dan impiannya yang masih suci. Maka, ia percayakan anak itu diasuh oleh Mbok Yem, seorang yang dituakan di daerah pemukiman itu. ia percaya di tangan mbok Yem, Eishya akan baik-baik saja, karena tidak pernah ada seorang pun yang berani mengusik Mbok Yem. Kata orang-orang, wanita tua itu punya ilmu.
Mbok Yem menyayangi Eishya seperti cucunya sendiri. wanita itu jugalah yang menyarankan kepada ibu Eish agar memasukannya ke pengajian Pak Ustad. Gadis kecil itu pun pergi mengaji di sore hari bersama beberapa orang temannya yang juga tinggal di pinggiran rel kereta. Siangnya, ia berjualan es lilin, dan pagi harinya ia ikut Mbok Yem memungut sampah.
Kehidupan di mata Eishya seperti sebuah roda. Ia harus terus bergerak agar kehidupan itu bisa berjalan. Dan, ia sangat bersyukur, walaupun berada di jalanan yang tidak mulus, tetapi orang-orang disekitarnya yang begitu menyayangi dan memperhatikannya, mengarahkannya pada sebuah tujuan hidup yang cerah di tengah suasana lingkungan yang kelam.
***
Eishya menatap ibunya lagi. Kali ini ada sebuah pertanyan lain yang ia utarakan. Lagi-lagi, pak Ustadz-lah inspiratornya.
“Kata Pak Ustad, perempuan itu wajib mengenakan jilbab. Tapi ko Ibu tidak ?”
Eish kembali membuat ibunya terdiam. ‘Lambat-laun pikiran Eish semakin berkembang saja’, batinnya. Entah ia harus bersyukur atau malah menyesal telah menyuruh anak itu mengaji pada Pak Ustad. Ia hanya mampu menghela nafas.
“Hanya perempuan alim saja yang memakai jilbab,” Elak ibunya.
“Perempuan alim itu yang bagaimana ?”
“Yaa...”sulit juga Ibunya menjelaskan, apalagi ia dikejar waktu untuk segera mangkal di tempat biasa,”perempuan alim itu ya yang seperti Bu Ustad itu.”
Eish berpikir semakin keras.
“Eish juga ingin Ibu jadi seperti itu.”
Pernyataan anak itu akhirnya mampu memalingkan perhatian sang Ibu dari cermin dan make-up. Ia meraih tangan Eish lalu mendekap anak itu ke pelukannya. Eish merasakan betapa lembut usapan di kepalanya. Selembut itulah cinta seorang Ibu kepada anaknya.
“Ibu mau kan pake jilbab?” Bujuk Eishya.
Ibunya memandang Eish penuh kasih sayang. Ingatannya kembali ke masa-masa lalu, ketika ia masih lugu. Keluguan yang sama seperti yang terpancar di mata anaknya saat ini.
“Kenapa Eish mau ibu pake jilbab?”
Eishya terdiam sesaat. Ia lalu berkata pelan,”Eish ingin Ibu menjaga kehormatan.”
‘Deg....’ jantung wanita itu seperti di hujam belati tajam.entah dari mana bocah sekecil Eishya yang bahkan belum menelan bangku sekolah itu bisa mendapatkan sebuah kata ‘kehormatan’. Sebuah kata yang sudah sangat lama ia lupakan.
Malam itu Ibunya sedikt merasakan ketidaknyamanan ketika bekerja. Sepanjang malam ia teringat perkataan putrinya yang seolah telah membangunkan nuraninya yang selama ini tertidur lelap dalam kuburan kemaksiatan, tertimbun himpitan kebutuhan. Sehingga menjadi gelaplah semua yang terang di matanya.
***
Suatu pagi Eishya menemani Mbok Yem memilah sampah di TPU yang letaknya tidak begitu jauh dari stasiun. Gadis kecil itu tampak ceria. Ia memiliki sebuah berita. Lagi-lagi dari Pak Ustad.
“Mbok, nanti akan ada tabligh akbar di lapangan dekat surau. Kata Pak ustad, nanti Eish sama anak-anak yang lain akan diberi santunan oleh Pak Kyai dari luar kota. Mbok mau ikut kan ?” Celoteh Eishya, “Eish juga mau ngajak Ibu, ah...”
Mbok Yem tersenyum menanggapinya. Keceriaan anak itu terasa sehangat mentari. Namun, tiba-tiba serombongan anak-anak yang juga teman sepermainan Eish yang turut mendengar cerita tersebut malah berkomentar panas,”Hah...Apaan ? Eish mo ngajak Ibunya ya? Hahaha...asal tahu aja ya, Eish, di tabligh akbar itu ga ada yang boleh pake rok mini. Hahaha...”
Eish mengerutkan kening.
“Sudah...sudah...ayo kerja sana! jangan ganggu cucukku!” Mbok Yem membubarkan barisan. Ia menoleh ke arah Eish yang tampak murung setelah mendengar komentar tadi. “Ndak usah di dengerin, Eish. Nanti biar Mbok yang menemani Eish ke Tabligh Akbar ya!”
Eishya mengangguk.
Mbok Yem memang selalu bisa menegarkan hati eishya  sama halnya seperti gadis kecil itu yang selalu bisa menceriakan hari-hari sepi orang tua tanpa sanak keluarga itu. mereka saling mengisi, saling melengkapi, sehingga dalam keadaan serba kekurangan sekalipun mereka selalu bisa tersenyum dan tertawa.
“Eish jangan sedih ya,” ucap Mbok Yem,”nanti Mbok belikan Eish jilbab yang bagus buat di pake ke tabligh akbar, ya.”
Eish tersenyum manis, matanya tambak berbinar-binar,”Benar, Mbok?”
Mbok Yem menggangguk pasti. Ia sangat menggumi semangat gadis kecil itu dalam mencari ilmu. Eishya belum lama mengaji bersama Pak Ustad, buku Iqra pun dia tidak punya. Pak Ustad lah yang memberinya secara Cuma-Cuma. Pak Ustad jugalah yang meminjaminya Al-Qur’an. Bahkan, jilbab yang dikenakannya untuk mengaji hanyalah selembar taplak meja usang pemberian Mbok Yem. Jilbab itu dan qur’an pinjaman itulah satu-satunya modal Eishya menuntut ilmu. Namun, dalam waktu singkat ia sudah hatam Qur’an, mendahului anak-anak lain sebayanya.
***
Semangat Eishya adalah sesuatu yang luar biasa. Beberapa hari ini Eishya terlihat bekerja lebih giat. Ia begitu bersemangat menjajakan es lilin dagangannya. Meski mendung datang menghadang tekad di dalam hatinya tidak terlawan. Tanpa sepengetahuan siapapun Eishya kecil tengah membangun sebuah rencana hebat. Ia akan membelikan  Ibunya satu setel baju muslim dan jilbab. Eishya sepertinya begitu terinspirasi, kali ini bukan oleh Pak Ustad, melainkan oleh Mbok Yem dan rencana spesialnya tempo hari.
“Seribu...dua ribu...tiga ribu...lima ratus...” Eish menghitung pendapatannya. Sebelumnya ia sudah menabung beberapa ribu, tapi jika dijumlahkan sekalipun uang itu masih kurang untuk membeli barang yang diinginkan. Padahal, hari dilangsungkannya tabligh akbar semakin dekat.
Pikirannya melayang ke rumah. Di sana Ibunya sedang terbaring sakit.
“Ibu jangan kerja lagi ya,” Ujar gadis kecil itu sebelum berangkat kerja.
“Memangnya kenapa ?”
“Eish ga mau Ibu diperlakukan seenaknya sama laki-laki,” Sahut Eishya sambil mengerucutkan mulut.
Ibunya tersenyum kecut. Bagaimanapun ia tidak mampu mengendalikan pikiran anak itu yang pasti akan semakin berkembang bersama bertambahnya usia. Eishya sudah menjadi gadis kecil yang dimatangkan pengalaman dan didewasakan keadaan.
“Ibu harus janji. Ibu jangan kerja itu lagi ya !”
Ibunya terdiam. Padahal disaat yang sama ia merasakan sebuah guncangan. Ia pun mengangguk sekedar menyenangkan gadis kecilnya. Namun, jauh di sela-sela pikiranya ia merasa buntu menentukan jalan hidup.
Di pojokan stasiun Eish belum berhenti berfikir tentang kondisi Ibunya juga tentang impian kecilnya. Namun, kehadiran seseorang berhasil membuyarkan konsentrasinya. Orang itu datang tiba-tiba. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya menyeramkan. Ia mencekal lengan Eishya lalu mengangkat tinggi-tinggi tubuh kecil anak itu ke udara
“Kena kau anak manis !” Teriaknya sambil tertawa.
Eishya meronta dalam ketakutan yang mencekam. Ia menjerit meminta tolong namun pojok stasiun sore itu sangat sepi. Mahluk sekecil dan selemah Eishya tidak sanggup melawan. Tapi, ia terus berteriak minta tolong dan tak putus-putus meminta perlindungan pada Allah. Sungguh, Allah mendengar jerit tangis itu.
“Lepaskan anakku !” tiba-tiba Ibu Eishya muncul dari arah rel kereta. Rupanya keputusan sang Ibu untuk mencari Eishya karena cemas akan keterlambatan Eishya pulang ke rumah, sangatlah tepat. Sebab jika tidak, entah apa yang akan terjadi menimpa putrinya itu.
Melihat kedatangan sang Ibu, orang itupun melepaskan cengkeramannya dari Eishya. “aha...akhirnya datang juga yang ditunggu!” seru pria tinggi besar yang sangar itu.
“Dah  lama lu ga kelihatan di pangkalan. Lu juga kagak setor lagi sama gue. Kemana aje lu?”
“saya sakit dan perlu istirahat, bang. Saya capek hidup begini terus.”
“lu mau ngelawan gue?” laki-laki itu berang. “inget. Dulu gue yang nyelametin keluarga lu. sekarang lu kudu balas budi sama gue. Nurutin apa kata gue. Sebab, hidup lu di tangan gue.” Ancamnya, “Nanti malem gue tunggu lu di pangkalan. Awas kalo lu ngelawan perintah, anak lu yang imut itu gantinya!”
Ibu Eishya terkesiap. pias memucat. Ia mendekap putrinya erat-erat.
Eishya tidak pernah tahu siapa preman yang berkata-kata kasar pada ibunya itu. waktu Eishya menanyakannya, ibu hanya menggelengkan kepala. Lalu, beberapa waktu kemudian Eishya menanyakannya pada Mbok Yem. Ia bilang orang itulah yang menyuruh Ibu Eishya memakai rok mini dan berdandan menor setiap malam. Eishya tetap tidak mengerti. Yang jelas, di mata polos gadis itu, orang jahat itu terlihat seperti setan.
***
Eishya tidak pernah putus asa. Janji Ibunya untuk tidak kembali bekerja menumbuhkan sebuah janji dalam diri Eishyah untuk berjuang demi hidup mereka. Anggukan kecil di depan anak kecil waktu itu ternyata sangat berarti dan berpengaruh besar pada diri Eishya. Semangatnya bekerja meningkat tajam. Ia bahkan tidak menghiraukan ketakutan sekecil apapun.
Dalam waktu 15 hari, Eishya mampu memnuhi targetnya. Uang hasil berjualan es, ditambah upah memilah sampah dan uang pemberian beberapa pengunjung stasiun yang bersimpati padanya terkumpul. Jumlahnya cukup untuk membeli sehelai jilbab dan satu setel baju muslim murah. Ia akan menghadiahkan barang-barang tersebut untuk Ibunya tersayang.
Eishya berlari ke pasar dan kembali dengan barang-barang yang ia idam-idamkan selama ini. Tabligh akbar akan digelar nanti malam, dan Eishya tidak mau terlambat membawa ibunya ke sana. Ia berlari dan terus berlari. Wajahnya cerah ceria sekali.
Tidak jauh dari stasiun, ia melihat Ibunya diseret paksa ke sebuah warung remang-remang di seberang jalan oleh seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berwajah setan. Serta merta Eishya berlari sambil memanggil-manggil ibunya.
“Ibu...Ibu...!” Eishyah terus memanggil ibunya tanpa mempedulikan apapun juga. Ia melewati lalu lalang orang-orang. Berlari. Terus berlari. Menyeberangi jalan raya yang tidak pernah surut dari lalu lalang kendaraan. Hingga ibunya menoleh. Pada detik itu waktu seakan berhenti.
Panggilan Eishyah disambut oleh malaikat. Tepat saat itulah Allah  memanggilnya. Eishya, bocah 6 tahun itu, meninggal terlindas kendaraan saat berlari melintasi jalan raya. Ia pergi sebelum sempat membela kehormatan ibunya. Ia pergi sebelum sempat memberikan jilbab dan baju muslim itu pada orang yang paling dikasihinya. Ia pergi sebelum sempat mengajak ibunya  pergi ke tabligh akbar bersamanya. Ia pergi sebelum sempat melihat Ibunya memakai baju muslim dan jilbab yang kini masih tergenggam erat dalam dekapannya yang sudah tak bernyawa. Bersimbah darah.
***
Terkenang sebuah janji, sebutir kecewa pecah menjadi air mata. Namun, harapan dan impian Eishya tidak jua lenyap dalam sesaat. Ia telah menorehkan sebuah asa yang akhirnya menjadi pengobat luka bagi sang ibu tercinta. Eishya pergi tanpa sia-sia. Jilbab dan baju muslim kini selalu melekat di tubuh ibunya. Ia menjadi manusia baru setelah kepergian putrinya. Eishya telah memberinya kehidupan yang bermakna.
***

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ITTIHAD & HULUL #makalah

PEMBAHASAN A.     ITTIHAD 1.       Pengertian ittihad kata Ittihad berasal dari kata ittahad-yattahid-ittahad (dari kata wahid) yang berarti kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Busthami, secara komperhensif maupun etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti "bergabung menjadi satu". Paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan seorang sufi teah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan ketika yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”. Dalam paham ini, seseorang untuk mencapai Ittihad harus m

PERADABAN ISLAM PADA MASA KHILAFAH RASHIDAH #makalah

PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Melalui sejarah kita dapat menggali masa lalu untuk dikaji ulang. Melalui sejarah juga kita dapat menemukan nilai-nilai yang pasti akan sangat bermanfaat untuk membangun masa depan. Sebab, sejarah merupakan cermin, yang menampilkan kebaikan maupun keburukan yang pernah terjadi di masa lalu. Sehingga dengan bercermin kepadanya, kita dapat senantiasa memperbaiki diri untuk masa yang akan datang. Peradaban manusia tidak pernah lepas dari sejarah. Sebaliknya, ketika mengkaji sejarah, peradaban pun tidak mungkin luput dari pembahasannya. Peradaban manusia berkembang seiring perkembangan akal pikiran manusia itu sendiri. Peradaban tersebut mengalami kemajuan dan juga kemunduran. Namun, dari sekian banyak peradaban yang tercatat dalam sejarah,  Islam pun turut menorehkan jejaknya dan mengambil peranan penting dalam sejarah perkembangan dunia hingga saat ini. Ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw hadir pada masa Jahiliyyah bagai

RINGKASAN MATERI ULUMMUL HADITS #makalah

A.     Pengertian Hadits Hadist menurut bahasa berarti الجديد yaitu ‘baru’. Pengertian ini terdapat pada beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain Q.S. Ath-Thuur ayat 34, Q.S. Al-Kahfi ayat 6. Q.S. Adh-Dhuha ayat 11. Namun, selain itu, hadist juga dapat berarti الخبر yaitu ‘berita’ serta   القريب yang berarti ‘dekat’. Ada beberapa istilah berkenaan dengan pengertian hadist. Antara lain: 1.      As-Sunnah ( السنة ) Sunnah menurut istilah memiliki pengertian yang sama dengan hadits, tapi di sisi lain pengertian sunnah adalah lebih umum/luas daripada hadist. Sunnah mencangkup segala sesuatu yang berasal dari nabi baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat, sikap, maupun perjalanan hidup, baik setelah diangkat menjadi nabi ataupun sebelumnya. 2.      Al-Khobar ( الخبر ) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, khobar menurut bahasa berarti kabar atau berita. Sedangkan menurut istilah, khobar berarti kabar ataupun berita yang berasal dari nabi (sama denagn hadist),