Dulu...dulu
banget, saya membuat puisi pertama saya tentang samudra. Alasan utamanya lebih
karena terpaksa. Hanya untuk memenuhi tugas bahasa Indonesia jaman SMP dahulu
kala :D Sebenarnya saya sendiri 'enek' (pengen muntah) jika bersentuhan dengan
sesuatu yang puitis, baik itu berupa rayuan gombal roman picisan, ataupun puisi
lebay :D
Ajaibnya,
sekarang saya justru lebih bisa mencerna puisi sebagai sebuah sastra yang
'amazing'. berawal dari curhatan saya terhadap lingkungan, keluarga juga nasib
dan takdir hidup yang saya tulis secara acak-acakan dalam sebuah buku tulis
bekas. saya harap tulisan itu tidak terbaca siapa-siapa, maka entah kenapa,
setiap aksara yang mengalir lancar itu membentuk formasi puisi dengan
sendirinya. sejak itu saya mulai nyaman menulis puisi terutama curhatan
pribadi. hahay :D
Yah,
walaupun puisi saya (dengan PD-nya berkata,"puisi saya". Hadeuh...)
masih berantakan dan cenderung lebay, saya tetap suka berpuisi ria ko. Dan,
dengan bahagia, dapat saya katakan bahwa sekarang saya sudah sembuh dari rasa
mual-mual akibat bahasa puitis sebuah puisi.
Diantara
banyaknya puisi-puisi yang bertebaran di lembaran kertas di seluruh dunia,
ternyata saya jatuh cinta pada dua buah
puisi istimewa. entahlah, mungkin memang karena perbendaharaan bacaan saya,
terutama puisi, masih sangat kurang. Tapi, saya juga suka puisi teman-teman
saya, terutama puisi-puisi yang sederhana atau puisi berdiksi luar biasa. dan,
tentu saja puisi paling jujur dan paling 'punya hati' lah yang saya sukai.
Nah, dua
puisi yang saya katakan tadi adalah puisi karya Bapak Ismail marzuki.
Beri Daku Sumba
di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi
malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak
melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
1970
Dari:
http://taufiqismail.com/malu-aku-jadi-orang-indonesia/kembalikan-indonesia-padaku/254-beri-daku-sumba
Dan, yang
'sweet' and 'deep' sekali, yaitu puisi karya Bapak Sapardi Djoko Damono
berjudul Aku Ingin.
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada”
― Sapardi Djoko Damono
Dari:http://www.goodreads.com/author/quotes/167915.Sapardi_Djoko_Damono
Hm...puisi
itu indah ya ^_^
Komentar
Posting Komentar