Judul Buku : Rindu itu
Koma
Sub Judul : Kisah
Kecil Epilepsi
Penulis : Adhy M. Nuur
Penerbit :
Nuur Indie Publishing
Jumlah Halaman : 318 Halaman
Cetakan ke- : I
Tahun :
2014
Meski
tertulis Kisah Kecil Epilepsi dalam sub judul buku ini, kisah di dalamnya bukanlah kisah kecil. Tebalnya saja 318
halaman bahkan versi aslinya yang dimuat di Kompasiana.com bisa lebih daripada
itu. Apalagi kisah ini menyuguhkan perjalan hidup seorang pengidap epilepsi
bernama Koma. Sebuah perjalan hidup tentu tidak bisa disebut kecil, bukan?
Kisah
tentang Koma dimulai sejak ia masih dalam kandungan. Awalnya mungkin pembaca
akan dibuat bingung mengenai tokoh utama dalam kisah ini. Karena pada bagian
awal, cerita terpusat pada sosok Asih, ibunya Koma yang pada saat itu masih
menjadi seorang gadis muda yang lugu dan bersahaja. Hampir sepertiga bagian awal
novel ini mengupas perjuangan Asih menjaga nyawa bayi dalam kandungannya dan
bagaimana ia berjuang menyambung hidup bersama anak yang kemudian ia lahirkan
tersebut. Cerita tentang Asih yang dihadirkan di awal ini benar-benar
menyentuh. Seakan-akan Asihlah tokoh utama dalam buku ini.
Walaupun
terasa agak sedikit kurang dari segi penggambaran cerita, namun keseluruhan novel
ini dinarasikan dengan baik oleh
penulisnya. Pemilihan alur maju, mungkin memang terkesan biasa saja, tetapi
alur tersebut ternyata sangat membantu pembaca dalam memahami inti cerita yang
kisahnya memang panjang dan berliku-liku.
Layaknya
sebuah novel tentang perjalanan hidup manusia, tentu ada pasang surut dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada diri tokon utamanya. Setiap episode yang
dilalui Koma, dirangkum dalam 6 bab yang terdiri dari beberapa sub bab. Sub-sub
bab inilah yang membuat ‘materi berat’ dalam novel ini bisa lebih mudah
dicerna. Setiap penggalan cerita yang
biasa disebut ‘bab’ , dalam novel ini, digantikan dengan kata ‘stadium’. Pertimbangannya mungkin karena kisah di
dalamnya yang identik atau berkaitan
erat dengan sebuah penyakit yaitu epilepsi. Maka, digunakanlah istilah medis
tersebut. Dan, secara tidak langsung, ini menjadi suatu hal yang manarik dan
menciptakan keunikan tersendiri.
Selain
itu, keunikan atau keistimewaan novel ini terletak pada unsur tradisi yang
terasa sekali baik dalam dialog maupun settingnya. unsur tradisi dan budaya
sunda begitu melekat. Apalagi dibumbui pula dengan unsur kearifan lokal dan supranatural
seperti yang tergambar pada sikap masyarakat dalam menyikapi ‘keajaiban’ diri Koma yang
kemudian mengantarkan dirinya menjadi seorang ‘dukun cilik’. Namun, sisi
spiritual dan unsur religiuslah yang pada akhirnya berhasil menyelamatkan
perjalanan hidup Koma sekaligus menyeimbangkan bumbu cerita ini sehingga
menjadi sesuai dengan porsinya. Walaupun ada beberapa hal yang tidak
terjelaskan secara logis, seperti keberuntungan yang secara ajaib hinggap dalam
diri Koma kecil, hal tersebut seakan memang sengaja dibiarkan tanpa penjelasan
dan dijadikan semacam ‘pemanis’ cerita. Dan, tanda tanya tak terjawab itulah
yang menjadikan sosok Koma menjadi istimewa.
Dalam
buku ini Koma mulai dikenalkan sejak ia dilahirkan hingga ia menjadi dewasa. Sejak
ia dilingkupi keberuntungan hingga semuanya sirna dan berubah menjadi
kemalangan. Sejak ia hidup bersama ibunya hingga ia sebatang kara. Sejak ia
mengenal cahaya hingga diterpa kegelapan. Sejak kesulitan demi kesulitan ia
lalui dengan ketegaran. Hingga pada akhir cerita ia menuai keberhasilan. Manisnya
cinta, getir kehidupan, dan keajaiban tuhan, semua itulah yang membingkai perjalanan seorang lelaki sederhana bernama Koma
yang kemudian terkenal dengan sebutan Ustadz Ayan.
Rindu
Itu Koma memang merupakan sebuah novel biografi yang diangkat dari kisah nyata
seorang da’i muda yang bergelar Ustadz Ayan. Buku ini sendiri mengusung tema
mengenai penyakit epilepsi. Sebagian orang mengganggap epilepsi sebagai sebuah
kutukan. Padahal jika dilihat dari pendekatan si penderita yang tergambar dari
sosok Koma, kutukan yang sebenarnya itu bukanlah epilepsinya, melainkan
anggapan atau pandangan masyarakat terhadap penyakitnya. Inilah salah satu hal
yang disampaikan dalam novel ini.
Setidaknya
ada empat hal yang ‘terbaca’ dari keseluruhan cerita dalam kisah hidup Koma:
1. Tentang
cinta dan dua sisi wanita. Cinta Koma kepada seorang gadis bernama Rindu lah
yang mengubah pemikiran dan kehidupannya. Di sini cinta diperlihatkan sebagai
sebuah kekuatan ajaib yang mampu mengarahkan seseorang menjadi lebih baik. Tetapi
pada peristiwa lain yang berkaitan dengan sosok wanita bernama Puspa, cinta
pula lah yang menghancurkan hidup koma. begitu pula yang terjadi dengan Asih.
2. Tentang
kerja keras dan kesungguhan. Perjalanan hidup Koma memang tidaklah mudah, apalagi
dengan penyakit epilepsi yang dideritanya. Kerja keras dan kesungguhan itulah
yang menjadi kunci suksesnya dalam mengejar cinta dan cita-cita.
3. Tentang
spiritualitas. Pesantren dan sosok ustadz Mansyur bagaikan gambaran surga dan
malaikat bagi kehidupan Koma. sebab, dari sanalah kematangan pemikirannya
berawal. Dan, di sana lah Koma menemukan jalan pulang.
4. Tentang
sosok ibu yang kehadiran maupun ketidakhadirannya menjadi pengaruh terbesar
bagi hidup seseorang, tidak terkecuali Koma. pada awalnya kisah tentang Asih
terputus begitu saja ketika Koma diculik. Sehingga moment tersebut menciptakan
transisi tokoh sentral dalam cerita yang tadinya dipegang oleh Asih kemudian
berganti menjadi Koma. Namun, tanpa disadari ketiadaan sosok Asih lah yang
paling mempengaruhi alur kehidupan Koma. sehingga Asih pula lah yang menutup kisah Koma
menjadi sempurna.
Memang
dua sub bab pada stadium terakhir buku ini merupakan bagian terbaiknya. Seolah lika-liku hidup koma
adalah sungai-sungai dan bab terakhir itulah yang menjadi muaranya. Di sanalah
sebagian besar pertanyaan tentang Koma terjawab. Selain itu ada juga sub bab
lain yang cukup menarik seperti perdebatan yang terjadi antara hati dan otak
Koma ketika ia galau untuk meraih cintanya. Dialog-dialog yang terjadi dalam
novel ini selain memuat pemikiran yang mendalam, namun banyak juga dihiasi dialog-dialog
ringan yang mampu mencipta lengkungan senyum bahkan tawa diwajah pembaca. Walaupun,
kisahnya terkesan padat dan terpenggal-penggal, namun saat membaca kita akan
tetap terbawa dalam aliran suka duka Koma. sedih dan bahagia, manisnya cinta, pahitnya
hidup, haru biru dan, canda begitu terasa. Sehingga salah jika penulis menyebut
ini sebagai sebuah Kisah Kecil Epilepsi semata, karena buku ini memuat banyak
hal besar mengenai nilai-nilai kehidupan.
Komentar
Posting Komentar